Minggu, 19 Februari 2012

KEDUDUKAN POLRI DALAM SISTEM KETATANEGARAAN RI




Para pakar dalam “ Comparative Police System “ ( antara lain Dillip K. Daz dalam buku : “ Police Practices : An International Review ) umumnya menyatakan, bahwa untuk mempelajari kepolisian suatu negara harus diketahui sejarah negara yang bersangkutan, sejarah kepolisiannya, UUD dan sistem ketatanegaraan, hukum yang mengatur kepolisian, dan hukum yang menetapkan tugas pokok, tugas – tugas dan wewenang kepolisian serta keadaan lingkungannya.

Setiap kepolisian di semua negara, karena itu, adalah unik, demikian pula Kepolisian Negara Republik Indonesia.
                                
a.  Zaman Hindia Belanda ( 1800 – 1942 )
Sesuai dengan kepentingan kolonialnya, semasa Hindia Belanda tidak pernah menempatkan organisasi kepolisian dalam satu tangan. Yang berperan di bidang operasi adalah Resident, yang memegang kebijakan politik – polisionil dan menjadi “ Hoofd van de Gewestelijke Recherse “, “ Rechtspolitie “ berada di bawah Procureur Generaal pada Mahkamah Agung.

Yang berada di lingkungan Departemen Dalam Negeri adalah “ Hoofd van de Dienst der Algemene Politie “ ( itu sebabnya pada tanggal 19 Agustus 1945, dinyatakan kepolisian berada di lingkungan Departemen Dalam Negeri ).  “ Hoofd van de Dienst der Algemene Politie “ lebih banyak bertugas di bidang administrasi dan pendidikan, termasuk Sekolah Polisi di Sukabumi.

Pada masa itu di daerah terdapat “ gewapende politie “ kemudian berubah menjadi “ veld politie “, ada “ Stats politie “, “ Cultuur politie, “ Bestuurs Politie “.

Pangkat bagi Belanda dan pribumi dipisahkan ( dual system ). Mantri Polisi, Wedana Polisi adalah jabatan bagi bumiputera. Agen Polisi juga buat bumiputera. Hoofd Agen, Inspecteur van Politie dan Commisaris van Politie adalah pangkat untuk orang Belanda. Bapak RS. Soekanto, Kepala Kepolisian Negara yang pertama adalah siswa Commisarisen Cursus pada tahun 1930.

Terdapat unifikasi dan kodifikasi hukum, seperti Wetboek van Strafrecht, Inlands Reglement ( IR ), kemudian Herziene Inlandsreglement ( HIR ), sebagai Hukum Acara Pidana.

b.  Zaman Pendudukan Jepang ( 1942 – 1945 )
Jepang menghapus dual system jabatan di kepolisian. Untuk kepentingan perang, Jepang membagi Indonesia dalam 4 wilayah perang, yaitu Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Indonesia Timur. Di masing – masing wilayah kepolisiannya disatukan sehingga terdapat 4 pusat.

c.  Zaman Revolusi Fisik ( 1945 – 1949 )
Waktu Jepang kalah Perang Dunia ke-3, PETA, Gyu Gun dan Heiho dibubarkan, sehingga sejak Proklamasi 17 Agustus 1945 yang utuh kesatuannya di daerah – daerah adalah kepolisian.

Tanggal 19 Agustus 1945 dinyatakan keberadaan Kepolisian Negara Republik Indonesia dan ditempatkan di lingkungan Departemen Dalam Negeri.

Secara spontan kepolisian di daerah menyatakan dirinya Polisi Republik Indonesia dengan berbagai cara, seperti IP. M. Jasin dengan Proklamasi, tanggal 22 Agustus di Surabaya, yang lain mengambil alih kantor polisi dari Jepang, ada pula yang mengganti bendera Jepang dengan Merah – Putih.
Tanggal 29 September 1945, R.S. Soekanto diangkat menjadi Kepala Kepolisian Negara RI yang pertama, yang kemudian mengkoordinasikan kepolisian daerah di Jawa.

Dalam perang kemerdekaan, mempertahankan Republik Indonesia dari serangan musuh mulanya Inggris, kemudian Belanda, Polri menyatakan dirinya “ Combatant “, beda dengan Konvensi Jenewa, dimana kepolisian di daerah pendudukan “ bekerja sama “ dengan musuh. Anggota Polri yang tinggal di daerah pendudukan dan  bekerja sama  dengan Belanda dicap “ pengkhianat “ atau “ co “.

Walaupun RI, sesuai UUD 1945 menganut sistem presidensiil, tetapi demi kepentingan perjuangan, khususnya perjuangan diplomasi, RI menerapkan sistem parlementer, dimana Presiden merupakan Kepala Negara dan Perdana Menteri sebagai Kepala Pemerintahan, Sutan Syahrir adalah Perdana Menteri yang pertama.

Tanggal 25 Juni 1946 adalah tanggal yang sangat penting bagi Polri. Pada tanggal tersebut keluar Penetapan Presiden Republik Indonesia, Soekarno dan Menteri Dalam Negeri, Soedarsono ( Ayah dari mantan Menhan, Juwono Sudarsono ) yang berbunyi :

“Menetapkan
1. Jawatan Kepolisian yang sekarang masuk lingkungan Kementrian Dalam Negeri, dikeluarkan dari lingkungan tersebut dan dijadikan Jawatan tersendiri yang langsung di bawah pimpinan Perdana Menteri.
2. Penetapan ini mulai berlaku pada tanggal 1 Juli 1946 ”.

Penetapan inilah yang menegaskan lahirnya “ Kepolisian Nasional Indonesia “ ( Indonesian National Police ) yang bertugas dan bertanggung jawab di seluruh wilayah RI ( dengan Deklarasi Djuanda tahun 1957 yang kemudian diakui PBB dengan United Nation Covention on Law of the Seas ( UNCLOS ), wilayah RI bertambah ± 4 kali lipat.

Karena dari permulaan Polri ikut berperang mempertahankan kemerdekaan, di samping melaksanakan tugas sebagai pemelihara keamanan dan ketertiban masyarakat dan penegakkan hukum, maka beda dengan hampir semua kepolisian di dunia, Polri adalah “ Polisi Pejuang “.

d.  Zaman Republik Indonesia serikat ( 1949 – Agustus 1950 )
Dalam periode yang singkat ini RS. Soekanto menjabat Kepala Kepolisian RIS dengan tugas “ menyatukan Kepolisian Negara RI ( sebagai Negara Bagian )dengan bekas – bekas kepolisian dari negara – negara bagian bikinan Belanda, bahkan dengan yang dulu dicap “ co “. RS. Soekanto mengutamakan profesionalisme dalam seleksi anggota. Ini tugas penting yang tidak mudah.

e.  Zaman Demokrasi Parlementer ( 1950 – 1959 )
Zaman ini ditandai dengan keluarnya UUD Sementara tahun 1950 dengan sistem Parlementer. Presiden adalah Kepala Negara dan Perdana Menteri adalah Kepala Pemerintahan.

Kepala Kepolisian Negara RI yang dijabat oleh RS. Soekanto tetap bertanggung jawab kepada Perdana Menteri, jadi tetap mandiri sejak 1 Juli 1946.

Waktu itu jumlah partai politik banyak sekali ( multi party system ) dan tidak ada partai yang mayoritas. Akibatnya pemerintah berganti hampir tiap tahun. Demikian pula Perdana Menterinya.

Dalam keadaan politik yang demikian, Polri tetap mandiri tidak dipengaruhi oleh partai manapun.

Malah, RS. Soekanto mulai membangun Kepolisian modern, antara lain meningkatkan Akademi Polisi menjadi Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian. Untuk pertama kali istilah “ Ilmu Kepolisian “ digunakan di Indonesia. Ratusan perwira Polri dikirim untuk belajar ke luar negeri. RS. Soekanto membangun laboratorium criminal ( forensik ), membentuk Polisi Perairan dan Polisi Udara, Polri menjadi anggota Interpol serta membangun gedung Mabes Polri di Jalan Trunojoyo, Kebayoran Baru.

Di bidang operasional, Polri berhasil membongkar kasus spionage Jurgshlaeger – Schmidt, kecelakaan pesawat Kashmir Princess dan kasus teror percobaan pembunuhan Presiden Soekarno di SD Cikini Jakarta.

Tahun 1955 Polri mengamankan Pemilu untuk pertama kali.

Dalam periode ini ditetapkan Panji – Panji Kepolisian, Pedoman Hidup Polri, Tribrata dan pedoman karya Catur Prasetya.

f.  Zaman Demokrasi Terpimpin ( 1959 – 1965 )
Sebenarnya sering bergantinya Kabinet dalam era demokrasi liberal terhenti pada tahun 1957, ketika Presiden Soekarno menunjuk dirinya sebagai formateur cabinet, yang dinamakan Kabinet Kerja dengan mengangkat Ir. Djuanda ( non partai ) sebagai Perdana Menteri. Kabinet ini berjalan sampai bulan Juli 1959.

Setelah Pemilu 1955 memilih anggota Konstituante untuk menyusun UU Dasar baru, namun karena syarat jumlah suara tidak kunjung tercapai, Bung Hatta mengundurkan diri sebagai Wakil Presiden dan daerah bergolak menentang pemerintah pusat, walaupun telah diusahakan MUNAS dan Musyawarah Pembangunan Nasional, yang kemudian meletus menjadi peristiwa PRRI / Permesta, maka untuk mengatasi keadaan yang demikian Presiden Soekarno menyatakan “ kembali ke UUD 1945 “. Jabatan Perdana Menteri dirobah menjadi Menteri Pertama, karena sesuai UUD 1945, Presiden merangkap Perdana Menteri. Ir. Djuanda masih menjalankan tugas sebagai Perdana Menteri, karena itu Polri masih bertanggung jawab kepada Menteri Pertama. Bulan November tahun 1963 Ir. Djuanda wafat dan Presiden Soekarno menghapuskan jabatan Menteri Pertama. Presiden sebagai Perdana Menteri mengangkat 3 Wakil Perdana  Menteri ( Waperdam ), yaitu Dr. Soebandrio, Dr. Leimena dan Chaerul Saleh.

Tahun 1959, keluar UU No.23 tahun 1959 tentang Keadaan Bahaya yang membagi 4 bentuk Keamanan ;
1.   Tertib Sipil
2.   Darurat Sipil
3.   Darurat Militer
4.   Darurat Perang
Dalam Tertib Sipil dan Darurat Sipil, Polri bertanggung jawab di bidang keamanan dan dalam Darurat Militer dan Darurat Perang, Angkatan Perang ( AD, AL, dan AU ) yang bertanggung jawab.

Tahun 1961, keluar UU No.13 tentang Kepolisian Negara RI. Dalam UU ini dinyatakan Polri adalah bagian dari ABRI ( dalam praktek tetap mandiri ), bahkan kepala Kepolisian Negara diangkat sebagai Menteri / Panglima Angkatan Kepolisian.

g.  Zaman Orde Baru ( 1966 – 1998 )
Dengan terjadinya peristiwa G 30 S/PKI pada 1 Oktober 1965, memuluskan Letnan Jenderal. Soeharto yang mulanya sebagai Menteri / Panglima Angkatan Darat, ketua Presidium Kabinet, Pajabat Presiden dan akhirnya Presiden RI.

Pada bulan Maret 1966, dibentuk Kabinet Dwikora Yang Disempurnakan lagi dan Jenderal Soeharto menjabat Ketua Presidium Kabinet. Setelah keluarnya SP 11 Maret 1966 ( dianggap hari lahirnya Orde Baru ), kemudian 1967 dengan TAP MPRS menjadi Pejabat Presiden dan tahun 1968 menjadi Presiden.

Dengan alasan PKI telah berusaha memecah ABRI, maka perlu diperkuat integrasi ABRI. Untuk itu pada tahun 1967 dibentuk Departemen Pertahanan dan Keamanan dan Markas Besar ABRI, yang dipimpin untuk pertama kali sebagai Menhankam / Pangab Jenderal Soeharto, kemudian diserahkan kepada Jenderal M. Panggabean, sesudah itu Jenderal M. Jusuf. Setelah Jenderal M. Jusuf, jabatan Menhankam dan Pangab dipisah, Jenderal Poniman menjabat Menhankam dan Jenderal Benny Murdani menjabat Pangab. Namun, pada akhir Orde Baru dan permulaan Era Reformasi Jenderal Wiranto merangkap kembali jabatan Menhankam dan Pangab.

Setelah 30 tahun berada di bawah Menhankam dan Pangab, adalah masa kemunduran  bagi Polri, di bidang anggaran, materiil, sumber daya manusia, karena diperlakukan sebagai angkatan perang.

Contoh Kemunduran Polri :
1.   Pada waktu Kapolri Jenderal Awaloedin Djamin pada tahun 1978 – 1982, anggaran Pembangunan Polri hanya 4  Milyar rupiah untuk seluruh jajaran Polri. Ketika disampaikan ke Menhankam / Pangab, tahun berikutnya anggaran pembangunan Polri dinaikkan menjadi 19 Milyar rupiah, jadi nominalnya naik ± 400 %, namun itu baru sama dengan harga 1 pesawa Hercules AURI. Menhankam / Pangab Jenderal M. Jusuf dalam Rapim secara kelakar menyatakan “ Polri berada di bawah garis kemiskinan “.

2.   Sistem pendidikan Polri disamakan ( diintegrasikan ) dengan pendidikan Angkatan Perang, seperti pendidikan tamtama yang sejak zaman Belanda berlangsung 9 bulan sampai 1 tahun, dirubah menjadi 4 bulan. Akademi Kepolisian dan Seskopo diintegrasikan ke dalam Danjen AKABRI dan Dan Sesko ABRI.

3.   Karena kepolisian di dunia internasional tidak merupakan militer, maka Polri tidak ikut dalam “ military cooperation “ atau “ defence cooperation “, yang sangat marak pada zaman Orde Baru, antara lain dengan Amerika Serikat, Belanda, dan Australia. AD, AL, dan AU mendapat bantuan tehnik ( hibah ) berupa kapal, pesawat udara, tank, dan meriam dan juga kesempatan belajar di luar negeri.

4.   Dan Lain – lain.