Sejarah Catur Prasetya
Gajah Mada
Gajah Mada
Tulisan ini tidak
untuk “ ngutik – utik “ Catur Prasetya Gajah Mada sebagai Pedoman Karya Polri yang mendampingi Tri Brata sebagai
pedoman hidup POLRI, tetapi mengulas kepemimpinan Gajah Mada menurut Empu
Prapanca. Empu Prapanca hidup pada abad XIV atau abad XIII tahun Saka, dimana
Majapahit masih jaya. Empu Prapanca menulis tentang kebesaran Majapahit dalam
tulisannya yang terkenal sebagai “ Nagarakertagama
“ ( 1367 ). Isinya tentang keberhasilan para pejabat kerajaan Majapahit baik
tentang kekuasaannya, tindak kepemimpinannya maupun lingkungan dimana mereka
tinggal.
Nagarakertagama menjadi terkenal di dunia luar sebagai karya sastra
setelah para orientalis barat sempat membacanya dari sallinan – salinan aslinya
yang ditulis dengan media daun lontar. Dalam Nagarakertagama mengulas
tentang kebesaran Majapahit, jasa Gajah Mada khususnya kepmimpinannya, wilayah
taklukannya, lingkungan tempat tinggal yang indah dan sebagainya.
Seperti halnya, setiap tuntutan
dari rakyat mengenai kepemimpinan, yang di zaman orde baru antara lain dikenal
dengan “ Sebelas Asas Kepemimpinan “, tetapi ada juga petuah – petuah lewat Ki
Dalang dalam pewayangan klasik, baik wayang kulit, wayang golek ataupun wayang
orang, mencitrakan seorang pemimpin sebagai “ wicaksana kaya dene ratu “,
“ waskita
kaya dene pendita “, “ lugu kaya dene tani “. Maksudnya “
bijaksana seperti raja “ . Yang kedua, “ waskita “, bisa melihat sebelum
sesuatu terjadi ( weruh sakdurunge winarah ), jelas bukan ramalan seorang
paranormal, tetapi kejelian melihat tanda – tanda perubahan. Ada yang
mengatakan “ futuristik “, ada yang mengatakan “ visioner “, tetapi semua di
tandai dengan perhitungan – perhitungan obyektif dan dengan asumsi “ ceteris
paribus “, apabila tidak terjadi perubahan – perubahan yang signifikan, bahwa
apa yang dikataknnya atau di asumsikannya bakal terjadi. Yang ketiga, hidup
sederhana seperti umumnya para petani.
Bagaimana dengan kepemimpinan
pada zaman Majapahit era Hayam Wuruk – Gajah Mada. Kepemimpinan era tersebut
diwakili oleh ketokohan Gajah Mada yang dilukiskan oleh Empu Prapanca dalam
Nagarakertagama, 1367, dengan sifat kepemimpinannya yaitu ( jadi bukan Gajah
Mada yang mengucapkan Catur Prasetya ) :
1. Ya wijirna ( Widjnya ), bijaksana penuh hikmah dalam menghadapi
berbagai macam kesukaran, sehingga akhirnya selalu berhasil menciptakan
ketentraman.
2. Ya
mantriwira, pembela negara
yang berani tiada tara.
3. Wicaksareng
Karsa ( Wicaksaneng naja ), bijaksana dalam segala senantiasa
tindakannya. Kebijaksanaannya senantiasa terpancar dalam setiap tindakan, baik
ketika menghadapi lawan maupun kawan, bangsawa ataupun rakyat jelata.
4. Natangwang
( Matanggwan ), memperoleh
kepercayaan karena rasa tanggung jawabnya yang besar sekali dan selalu
menjungjung tinggi kepercayaan yang dilimpahkan.
5. Satya
Bhakti Haprabu, bersifat setia
dengan hati yang tulus ikhlas kepada negara dan Seri Mahkotanya, selama empat
puluh tahun ia setia mengabdi negara dan raja.
6. Wagmi
Wak, pandai berpidato ( orator )
dan berdiplomasi mempertahankan atau menyakinkan sesuatu.
7. Sarjawopasama
( Sasddawopasama ), rendah hati ,
berbudi pekerti baik, berhati emas,
bermuka manis, dan penyabar.
8. Dhirotsaka
( Dhirotsaha ), terus – menerus bekerja
rajin dan sungguh – sungguh.
9. Tan
Hanala ( Tan lalana ), selalu tampak
gembira walaupun di dalam dirinya sedang gundah ataupun terluka.
10.Dwiyacitta
( Diwjatjitta ), mau mendengarkan pandapat lain dan
mau bermusyawarah.
11.Tan
Satrisna ( Tan Satrsna ), yaitu
tidak mempunyai pamrih pribadi untuk menikmati kesenangan yang bersifat gairah
dan birahi.
12.Sih Samsthabhuwana
( Masih I samasthabhuwana ), menyayangi seluruh dunia dan alam semesta.
13.Gineung
Pratidina, selalu
mengerjakan yang baik dan membuang yang buruk.
14.Sumantri, menjadi pegawai kerajaan yang baik dan
sempurna kelakuannya.
15.Hanarsaken
( Haniyen / anayaken ) Musuh, artinya bertindak memusnahkan lawan.
Untuk pedoman karya yang diambil hanya empat,
disebutkan Presiden Sukarno yaitu ; Satya Haprabu, Haniyaken Musuh, Gineung Pratidina,
dan Tan Satrisna. Tetapi itu tidak berarti selebihnya tidak perlu karena dengan
empat catur saja apabila dilaksanakan secara bersungguh – sungguh sudah melakukan apa yang disebut sebelas lainnya.
Catur Prasatya sendiri
diperkenalkan sendiri oleh Presiden Sukarno, Presiden pertama RI, di dalam pidatonya pada Dies
Natalis Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian ( PTIK ) yang kesepuluh, tanggal 17
Juni 1956. Presiden Sukarno menekankan, setelah melihat lukisan para pahlawan
Indonesia yang terpancang di tiang aula PTIK ( jalan Tambak 2, Jakarta Pusat,
kini gedung INKOPOL ), bahwa masih ada kekurangan sebuah lukisan yang pantas
menjadi “ panutan “ POLRI yaitu Gajah Mada.
Presiden lebih lanjut
memberikan amanatnya, sebagai orang kedua dari negara besar Majapahit yaitu
Mahapatih Gajah Mada sebagai pembantu raja telah memberikan dharma baktinya
kepada negara. Kemudian menyebutkan dan menjelaskan satu – persatu prasatya
tersebut dan kemudian menyebutnya sebagai Catur Prasetya.
Catur Prasetya di tetapkan pada tahun 1961 sebagai hasil rapat para
Kapolda, pada waktu itu masih disebut KPPRO ( Kepala Polisi Provinsi ) seluruh
Indonesia di Yogyakarta. Dimaksudkan untuk menjabarkan TRIBRATA yang ditetapkan
sebagai implementasi pedoman hidup di lapangan. Dari hasil rapat para Kapolda
tersebut kemudian Catur Prasetya selalu diucapkan setelah Tribrata.
Dikutip dari buku : DIBAWAH PANJI - PANJI TRIBRATA