Minggu, 01 April 2012

SEJARAH CATUR PRASETYA POLRI



 
 
 Sejarah Catur Prasetya 
Gajah Mada


                Tulisan ini tidak untuk “ ngutik – utik “ Catur Prasetya Gajah Mada sebagai Pedoman Karya Polri yang mendampingi Tri Brata sebagai pedoman hidup POLRI, tetapi mengulas kepemimpinan Gajah Mada menurut Empu Prapanca. Empu Prapanca hidup pada abad XIV atau abad XIII tahun Saka, dimana Majapahit masih jaya. Empu Prapanca menulis tentang kebesaran Majapahit dalam tulisannya yang terkenal sebagai “ Nagarakertagama “ ( 1367 ). Isinya tentang keberhasilan para pejabat kerajaan Majapahit baik tentang kekuasaannya, tindak kepemimpinannya maupun lingkungan dimana mereka tinggal.


      Nagarakertagama menjadi terkenal di dunia luar sebagai karya sastra setelah para orientalis barat sempat membacanya dari sallinan – salinan aslinya yang ditulis dengan media daun lontar. Dalam Nagarakertagama mengulas tentang kebesaran Majapahit, jasa Gajah Mada khususnya kepmimpinannya, wilayah taklukannya, lingkungan tempat tinggal yang indah dan sebagainya.

      Seperti halnya, setiap tuntutan dari rakyat mengenai kepemimpinan, yang di zaman orde baru antara lain dikenal dengan “ Sebelas Asas Kepemimpinan “, tetapi ada juga petuah – petuah lewat Ki Dalang dalam pewayangan klasik, baik wayang kulit, wayang golek ataupun wayang orang, mencitrakan seorang pemimpin sebagai “ wicaksana kaya dene ratu “, “ waskita kaya dene pendita “, “ lugu kaya dene tani “. Maksudnya “ bijaksana seperti raja “ . Yang kedua, “ waskita “, bisa melihat sebelum sesuatu terjadi ( weruh sakdurunge winarah ), jelas bukan ramalan seorang paranormal, tetapi kejelian melihat tanda – tanda perubahan. Ada yang mengatakan “ futuristik “, ada yang mengatakan “ visioner “, tetapi semua di tandai dengan perhitungan – perhitungan obyektif dan dengan asumsi “ ceteris paribus “, apabila tidak terjadi perubahan – perubahan yang signifikan, bahwa apa yang dikataknnya atau di asumsikannya bakal terjadi. Yang ketiga, hidup sederhana seperti umumnya para petani.

      Bagaimana dengan kepemimpinan pada zaman Majapahit era Hayam Wuruk – Gajah Mada. Kepemimpinan era tersebut diwakili oleh ketokohan Gajah Mada yang dilukiskan oleh Empu Prapanca dalam Nagarakertagama, 1367, dengan sifat kepemimpinannya yaitu ( jadi bukan Gajah Mada yang mengucapkan Catur Prasetya ) :
1.  Ya  wijirna ( Widjnya ), bijaksana penuh hikmah dalam menghadapi berbagai macam kesukaran, sehingga akhirnya selalu berhasil menciptakan ketentraman.
2.  Ya mantriwira, pembela negara yang berani tiada tara.
3.  Wicaksareng Karsa ( Wicaksaneng naja ), bijaksana dalam segala senantiasa tindakannya. Kebijaksanaannya senantiasa terpancar dalam setiap tindakan, baik ketika menghadapi lawan maupun kawan, bangsawa ataupun rakyat jelata.
4.  Natangwang ( Matanggwan ), memperoleh kepercayaan karena rasa tanggung jawabnya yang besar sekali dan selalu menjungjung tinggi kepercayaan yang dilimpahkan.
5.  Satya Bhakti Haprabu, bersifat setia dengan hati yang tulus ikhlas kepada negara dan Seri Mahkotanya, selama empat puluh tahun ia setia mengabdi negara dan raja.
6.  Wagmi Wak, pandai berpidato ( orator ) dan berdiplomasi mempertahankan atau menyakinkan sesuatu.
7.  Sarjawopasama ( Sasddawopasama ), rendah hati , berbudi pekerti baik,  berhati emas, bermuka manis, dan penyabar.
8.  Dhirotsaka ( Dhirotsaha ), terus – menerus bekerja rajin dan sungguh – sungguh.
9.  Tan Hanala ( Tan lalana ), selalu tampak gembira walaupun di dalam dirinya sedang gundah ataupun terluka.
10.Dwiyacitta ( Diwjatjitta ), mau mendengarkan pandapat lain dan mau bermusyawarah.
11.Tan Satrisna ( Tan Satrsna ), yaitu tidak mempunyai pamrih pribadi untuk menikmati kesenangan yang bersifat gairah dan birahi.
12.Sih Samsthabhuwana ( Masih I samasthabhuwana ), menyayangi seluruh dunia dan alam semesta.
13.Gineung Pratidina, selalu mengerjakan yang baik dan membuang yang buruk.
14.Sumantri, menjadi pegawai kerajaan yang baik dan sempurna kelakuannya.
15.Hanarsaken ( Haniyen / anayaken ) Musuh, artinya bertindak memusnahkan lawan.

Untuk pedoman karya yang diambil hanya empat, disebutkan Presiden Sukarno yaitu ; Satya Haprabu, Haniyaken Musuh, Gineung Pratidina, dan Tan Satrisna. Tetapi itu tidak berarti selebihnya tidak perlu karena dengan empat catur saja apabila dilaksanakan secara bersungguh – sungguh sudah melakukan apa yang disebut sebelas lainnya.

      Catur Prasatya sendiri diperkenalkan sendiri oleh Presiden Sukarno, Presiden  pertama RI, di dalam pidatonya pada Dies Natalis Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian ( PTIK ) yang kesepuluh, tanggal 17 Juni 1956. Presiden Sukarno menekankan, setelah melihat lukisan para pahlawan Indonesia yang terpancang di tiang aula PTIK ( jalan Tambak 2, Jakarta Pusat, kini gedung INKOPOL ), bahwa masih ada kekurangan sebuah lukisan yang pantas menjadi “ panutan “ POLRI yaitu Gajah Mada.

      Presiden lebih lanjut memberikan amanatnya, sebagai orang kedua dari negara besar Majapahit yaitu Mahapatih Gajah Mada sebagai pembantu raja telah memberikan dharma baktinya kepada negara. Kemudian menyebutkan dan menjelaskan satu – persatu prasatya tersebut dan kemudian menyebutnya sebagai Catur Prasetya.

      Catur Prasetya di tetapkan  pada tahun 1961 sebagai hasil rapat para Kapolda, pada waktu itu masih disebut KPPRO ( Kepala Polisi Provinsi ) seluruh Indonesia di Yogyakarta. Dimaksudkan untuk menjabarkan TRIBRATA yang ditetapkan sebagai implementasi pedoman hidup di lapangan. Dari hasil rapat para Kapolda tersebut kemudian Catur Prasetya selalu diucapkan setelah Tribrata. 

Dikutip dari buku : DIBAWAH PANJI - PANJI TRIBRATA