D
|
alam perkembangan teknologi yang
demikian massif, polisi Indonesia tidak bisa mengelak lagi dari keniscayaan
menangani kejahatan dengan teknologi tinggi. Pada tingkat software maupun hardware,
lembaga kepolisian Indonesia, perlu melakukan langkah – langkah antisipatif
untuk menerima tantangan tersebut. Dengan perspektif Alvin Toffler, Prof. Tjip
mengingatkan polisi Indonesia, bahwa sejalan dengan arus perkembangan
teknologi, perang melawan kejahatan kini pun mengalami perubahan, yaitu tidak lagi
sekadar dihadapi dengan “ senjata otot “
namun harus mulai diantisipatif dengan “
senjata otak “. Perubahan sosial lainnya yang kini sedang dialami oleh
masyarakat Indonesia adalah masuknya “
gelombang demokratisasi “. Ada dua hal penting yang akan menerpa kepolisian
sehubungan dengan “ gelombang demokratisasi
“ ini.
Pertama, “ gelombang demokratisasi “ akan
selalu diwarnai oleh adanya masa transisi dari otoritarianisme menuju kepada
tatanan demokratis. Pada titik ini, tidak bisa lagi dihindarkan adanya benturan
– benturan antar – kepentingan, terutama kepentingan antara status quo dan kaum reformis. Benturan
kepentingan ini kadangkala muncul ke permukaan dalam bentuk serangkaian aksi
rusuh massa, bahkan konflik antaretnis.
Dalam kondisi yang
demikian rumit dan hampir – hampir sulit dipetakan, polisi dihadapkan pada
suatu kondisi untuk harus memilih dua hal, pertama,
antara membela kepentingan rezim otoritarian dan dengan demikian akan
berhadapan dengan massa – rakyat yang pro – reformasi. Kedua, polisi berada pada barisan pro – reformasi dan harus berani secara
politis menjaga jarak dengan rezim otoriter. keberanian polisi Indonesia untuk
mengambil pilihan sulit inilah, nanti pada gilirannya akan memudahkan dirinya
untuk memposisikan diri dalam meredam atau melerai pertikaian yang kian marak
muncul di tengah – tengah masyarakat yang mengalami transisi ini.
Kedua, masa transisi dalam “ gelombang
demokratisasi “ yang melanda
Indonesia beberapa waktu terakhir ini, pada akhirnya menuntut polisi untuk
memposisikan dirinya sebagai bagian dari “
masyarakat sipil “. Artinya polisi telah memilih untuk menjaga jarak
terhadap karakter rezim yang otoritarian. Sebagaimana telah menjadi pengetahuan
umum, bahwa pada era Orde Baru, militer merupakan tulang punggung utama rezim otoriter
di Indonesia, dan celakanya pada saat itu polisi berada di dalamnya. Polisi
Indonesia yang memiliki karakter militeristik, pada saat itu menjadi salah satu
“ alat represi “ politik yang setiap
saat siap digunakan untuk membela status
quo kekuasaan rezim Orde Baru.
Kini polisi Indonesia
sedang berada pada masa transisi, yaitu keluar dari militer dan coba membangun
karakter sipil. Prof. Tjip menyebut polisi Indonesia kini bukan lagi
berkarakter militer, namun sekadar “ a
civilian in uniform “, orang sipil yang diberi baju seragam. Wajar
tentunya, bahwa polisi Indonesia kini sedang mengalami kesulitan dalam
menyesuaikan karakter, karena sekian lama ia “ dipaksa “ berkarakter militer, dan sekarang dituntut untuk
berkarakter sipil.
Menurut Prof. Tjip,
salah satu tantangan perubahan dalam diri polisi Indonesia adalah bagaimana ia
bertindak sebagaimana “ orang sipil “.
Sebagai “ polisi sipil “, tentu saja polisi Indonesia diharapkan menempatkan diri
secara proporsional, kapan ia harus bertindak sebagai “ a strong hand of society “, dan kapan harus bertindak dengan
karakter “ a soft hand of society “.
dikutip dari buku : Satjipto Rahardjo