Senin, 16 April 2012

Polisi Sipil



D
alam perkembangan teknologi yang demikian massif, polisi Indonesia tidak bisa mengelak lagi dari keniscayaan menangani kejahatan dengan teknologi tinggi. Pada tingkat software maupun hardware, lembaga kepolisian Indonesia, perlu melakukan langkah – langkah antisipatif untuk menerima tantangan tersebut. Dengan perspektif Alvin Toffler, Prof. Tjip mengingatkan polisi Indonesia, bahwa sejalan dengan arus perkembangan teknologi, perang melawan kejahatan kini  pun mengalami perubahan, yaitu tidak lagi sekadar dihadapi dengan “ senjata otot “ namun harus mulai diantisipatif dengan “ senjata otak “. Perubahan sosial lainnya yang kini sedang dialami oleh masyarakat Indonesia adalah masuknya “ gelombang demokratisasi “. Ada dua hal penting yang akan menerpa kepolisian sehubungan dengan “ gelombang demokratisasi “ ini.

Pertama, “ gelombang demokratisasi “ akan selalu diwarnai oleh adanya masa transisi dari otoritarianisme menuju kepada tatanan demokratis. Pada titik ini, tidak bisa lagi dihindarkan adanya benturan – benturan antar – kepentingan, terutama kepentingan antara status quo dan kaum reformis. Benturan kepentingan ini kadangkala muncul ke permukaan dalam bentuk serangkaian aksi rusuh massa, bahkan konflik antaretnis.
Dalam kondisi yang demikian rumit dan hampir – hampir sulit dipetakan, polisi dihadapkan pada suatu kondisi untuk harus memilih dua hal, pertama, antara membela kepentingan rezim otoritarian dan dengan demikian akan berhadapan dengan massa – rakyat yang pro – reformasi. Kedua, polisi berada pada barisan pro – reformasi dan harus berani secara politis menjaga jarak dengan rezim otoriter. keberanian polisi Indonesia untuk mengambil pilihan sulit inilah, nanti pada gilirannya akan memudahkan dirinya untuk memposisikan diri dalam meredam atau melerai pertikaian yang kian marak muncul di tengah – tengah masyarakat yang mengalami transisi ini.
Kedua, masa transisi dalam “ gelombang demokratisasi “  yang melanda Indonesia beberapa waktu terakhir ini, pada akhirnya menuntut polisi untuk memposisikan dirinya sebagai bagian dari “ masyarakat sipil “. Artinya polisi telah memilih untuk menjaga jarak terhadap karakter rezim yang otoritarian. Sebagaimana telah menjadi pengetahuan umum, bahwa pada era Orde Baru, militer merupakan tulang punggung utama rezim otoriter di Indonesia, dan celakanya pada saat itu polisi berada di dalamnya. Polisi Indonesia yang memiliki karakter militeristik, pada saat itu menjadi salah satu “ alat represi “ politik yang setiap saat siap digunakan untuk membela status quo kekuasaan rezim Orde Baru.
Kini polisi Indonesia sedang berada pada masa transisi, yaitu keluar dari militer dan coba membangun karakter sipil. Prof. Tjip menyebut polisi Indonesia kini bukan lagi berkarakter militer, namun sekadar “ a civilian in uniform “, orang sipil yang diberi baju seragam. Wajar tentunya, bahwa polisi Indonesia kini sedang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan karakter, karena sekian lama ia “ dipaksa “ berkarakter militer, dan sekarang dituntut untuk berkarakter sipil.
Menurut Prof. Tjip, salah satu tantangan perubahan dalam diri polisi Indonesia adalah bagaimana ia bertindak sebagaimana “ orang sipil “. Sebagai “ polisi sipil “, tentu saja polisi Indonesia diharapkan menempatkan diri secara proporsional, kapan ia harus bertindak sebagai “ a strong hand of society “, dan kapan harus bertindak dengan karakter “ a soft hand of society “.

dikutip dari buku : Satjipto Rahardjo