Kamis, 12 April 2012

PERBANDINGAN SISTEM KEPOLISIAN



PERBANDINGAN SISTEM KEPOLISIAN
AMERIKA SERIKAT, JEPANG
DAN INDONESIA


Latar belakang
Keberadaan lembaga kepolisian dalam suatu negara mutlak diperlukan. Tidak ada satu pun negara di dunia ini yang tidak mempunyai lembaga kepolisian. Namun demikian, antara satu lembaga kepolisian pada suatu negara belum tentu menggunakan sistem kepolisian yang sama pula dikarenakan adanya pengaruh dari faktor sistem politik/pemerintahan yang dianut serta mekanisme sistem kontrol sosial yang berlaku dalam negara tersebut. Bahkan dengan sistem pemerintahan yang sama-sama menganut paham demokratis pun, belum tentu menggunakan sistem kepolisian yang sama. Sebagaimana diketahui secara universal hingga kini yaitu di dalam negara-negara demokratis terdapat tiga sistem kepolisian yang digunakan, yaitu Sistem Kepolisian Terpisah (Fragmented System of Policing), Sistem Kepolisian Terpusat (Centralized System of Policing) dan Sistem Kepolisian Terpadu (Integrated System of Policing). Ketiga sistem tersebut sangat dipengaruhi dua model besar penerapan hukum di dunia, yaitu model eropa kontinental atau civil law sebagaimana yang digunakan di Perancis, Belanda dan Jerman, dan model anglo saxon atau common law sebagaimana yang digunakan di Inggris, Amerika Serikat dan Australia.
Masing-masing sistem kepolisian tersebut memiliki kelebihan serta kelemahan tersendiri sehingga memang benar apabila disebutkan bahwa ”tidak ada satu sistem kepolisian yang sempurna”. Oleh karena itulah dalam praktik kepolisian dipandang perlu untuk menelaah lebih lanjut terkait dengan berbagai kelemahan maupun kelebihan dimaksud melalui suatu metode perbandingan antar sistem kepolisian dalam rangka mendapatkan pemahaman secara integral tentang perbedaan yang terdapat antara suatu sistem kepolisian pada suatu negara tertentu dengan sistem kepolisian negara lain.
Outcome yang hendak dicapai dari hasil perbandingan sistem kepolisian dimaksud antara lain agar dapat diambil suatu manfaat dari suatu sistem kepolisian negara tertentu bagi negara lainnya, antara lain berupa penataan dan pengembangan organisasi (organizational development) serta pengembangan potensi kerjasama kerjasama antar lembaga kepolisian beberapa negara. Sehubungan dengan hal tersebut, maka penulis hendak menulis tentang perbandingan sistem kepolsian di Amerika Serikat, Jepang dan Indonesia, dalam rangka menelaah berbagai kelebihan serta kelemahan yang terdapat pada sistem kepolisian yang di ketiganegara tersebut dan selanjutnya mengambil manfaat-manfaat terutama yang terdapat dalam sistem kepolisian Amerika Serikat dan Jepang guna dijadikan sebagai faktor pembanding terhadap sistem kepolisian di Indonesia. Manakala faktor pembanding dimaksud dipandang dapat diterapkan pada sistem kepolisian di Indonesia serta memiliki prospek positif dalam peningkatan profesionalisme lembaga kepolisian di Indonesia, maka dapat diupayakan suatu strategi terkait dengan aplikasinya.

1.           Sistem Kepolisian di Amerika Serikat
Sistem kepolisian di Amerika Serikat menggunakan paradigma Fragmented System of Policing, yaitu suatu sistem kepolisian yang terpisah atau berdiri sendiri, disebut juga sebagai sistem desentralisasi yang ekstrim atau tanpa sistem. Oleh karena itu di dalam sistem tersebut terjadi kekhawatiran terhadap penyalahgunaan dari suatu organisasi polisi yang otonom sehingga dalam penerapan paradigma sistem dimaksud senantiasa diiringi dengan dilakukannya pembatasan kewenangan polisi. Negara-negara yang menganut sistem ini selain Amerika Serikat, antara lain : Belgia, Kanada, Belanda dan Swiss.
Sistem kepolisian dengan paradigma tersebut memiliki ciri-ciri, antara lain yaitu 
a)    Kewenangan yang dimiliki lembaga kepolisian bersifat terbatas, yaitu hanya sebatas pada daerah di mana suatu badan kepolisian berada. Hal ini dikarenakan secara umum lembaga kepolisian di setiap daerah di Amerika Serikat, baik di tingkat negara bagian sampai dengan tingkat propinsi maupun kabupaten, memang dibentuk oleh pemerintah daerah setempat dan diatur dengan peraturan perundang-undangan yang diterbitkan oleh pemerintah daerah setempat pula sehingga tugas pokok dan wewenang lembaga kepolisiannya pun  hanya menjangkau daerah tersebut. Oleh karena itu, guna menangani kasus-kasus tindak pidana tertentu, terutama yang melibatkan lebih dari satu yurisdiksi maupun yang termasuk dalam kategori transnational crime, Amerika Serikat membentuk badan-badan kepolisian federal dengan wewenang meliputi seluruh daerah di Amerika Serikat, seperti halnya FBI, DEA maupun US Homeland Security.
b)    Pengawasan terhadap lembaga kepolisian sifatnya lokal, artinya yaitu pengawasan yang dilakukan  terhadap pelaksanaan tugas-tugas serta wewenang kepolisian dilakukan oleh tiap-tiap struktur lokal yang ditentukan dalam suatu lembaga kepolisian, termasuk dalam hal ini pengawasan terutama dilakukan secara melekat oleh publik daerah setempat dimana suatu lembaga kepolisian tersebut berada.  Hal ini cenderung memang dipengaruhi oleh basic model penerapan hukum yang dianut di Amerika Serikat, yaitu model anglo saxon atau common law yang memang dalam sistem tersebut lembaga kepolisian tumbuh dari adanya kepentingan dalam masyarakat sendiri sehingga representasi polisi dalam model tersebut dapat dikatakan sebagai representasi dari masyarakat itu sendiri atau dengan kata lain bahwa polisi adalah sebagai milik masyarakat karena munculnya lembaga kepolisian pada awalnya bukan dikarenakan oleh adanya kepentingan negara, melainkan kepentingan masyarakat, sebagaimana filosofi yang dikemukakan oleh Sir Robert Peel, yaitu ”The police are the public and the public are the police; the police being only members of the public who are paid to give full time attention to duties which are incumbent on every citizen in the interests of community welfare and existence.
c)    Penegakan hukum dilaksanakan secara terpisah atau berdiri sendiri, maksudnya yaitu bahwa dalam pelaksanaan penegakan hukum tersebut, suatu lembaga kepolisian pada daerah tertentu tidak bisa memasuki wilayah hukum daerah yang lain. Hal ini disebabkan karena setiap  lembaga kepolisian di Amerika Serikat diatur dengan suatu peraturan perundang-undangan tersendiri yang ditentukan oleh pemerintah daerah setempat, termasuk dalam hal teknis pelaksanaan penegakan hukumnya, berbeda halnya dengan negara yang sistem kepolisiannya menggunakan Sistem Kepolisian Terpusat (Centralized System of Policing), seperti di Indonesia, dalam pelaksanaan penegakan hukum dilaksanakan tidak secara terpisah atau berdiri sendiri tetapi secara menyeluruh sebagai suatu lembaga kepolisian yang terpusat sebagaimana ditentukan dalam UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri.
Tentunya dalam penerapan sistem kepolisian dengan paradigma Fragmented System of Policing tidak lepas dari kelebihan dan kelemahan yang dimilikinya. Kelebihan dimaksud, antara lain :
a)   Polisi relatif dapat menyesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat setempat. Hal ini sangat dipengaruhi oleh latar belakang atau akar sistem kepolisian tersebut yang berbasis model anglo saxon atau common law, dimana lembaga kepolisian tumbuh dari dalam masyarakat sendiri karena diawali oleh adanya kepentingan masyarakat akan suatu lembaga kepolisian sehingga dengan basic tersebut, polisi otomatis lebih peka terhadap berbagai situasi dan kondisi yang terjadi di dalam masyarakat mengingat setiap tindakan kepolisian cenderung bersifat bottom up daripada top down sebagaimana di negara yang menggunakan Sistem Kepolisian Terpusat (Centralized System of Policing).
b)    Polisi otonom di dalam hal melakukan pengaturan terhadap segala kegiatannya, baik dalam bidang administrasi maupun operasional sesuai dengan struktur masyarakatnya. Hal ini dikarenakan antara lembaga kepolisian yang satu dengan yang lainnya tidak terikat dalam suatu kesatuan struktur organisasional atau kelembagaan sebagaimana yang diunakan pada negara dengan Sistem Kepolisian Terpusat (Centralized System of Policing), sehingga lembaga kepolisian pada negara dengan Sistem Kepolisian Terpisah (Fragmented System of Policing) memiliki otonomi yang besar dalam menyelenggarakan berbagai kegiatan maupun tindakan kepolisian dengan senantiasa tetap menyesuaikan terhadap struktur masyarakat setempat.
c)  Kecil kemungkinan terjadinya penyalahgunaan organisasi polisi oleh penguasa secara nasional dikarenakan sifat pengawasannya lokal. Hal ini dikarenakan antara pihak yang mengawasi kinerja lembaga kepolisian, yaitu pemerintah daerah dan masyarakat setempat, dan lembaga kepolisian yang diawasi, yaitu lembaga kepolisian setempat, berada dalam satu daerah yang sama sehingga kedekatan struktural dalam hal pengawasan yang bersifat lokal tersebut memiliki pengaruh kuat sebagai kontrol sosial bagi terselenggaranya kinerja lembaga kepolisian yang sesuai dengan prinsip-prinsip good governance.
d)   Birokrasinya bersifat praktis, dalam arti lebih pendek, terutama dalam hal pengusulan dana atau anggaran operasional kepolisian karena langsung ditujukan kepada pemerintah daerah setempat. Hal ini dikarenakan segala kegiatan lembaga kepolisian pada suatu daerah disokong oleh anggaran milik pemerintah daerah setempat, sehingga suatu lembaga kepolisian hanya perlu melalui satu tahap saja dalam melakukan akses kebijakan publik terhadap pemerintah daerah setempat, termasuk dalam hal dukungan anggaran kepolisian, tidak sebagaimana di negara dengan Sistem Kepolisian Terpusat (Centralized System of Policing), terdapat lebih dari satu level birokrasi yang cenderung panjang dan rumit sehingga tidak cukup efektif dalam hal penyelenggaraan kegiatan lembaga kepolisian, misalnya dalam hal pengajuan anggaran seperti di tubuh Polri saat ini, prosesnya masing-masing kesatuan dari level terbawah mengajukan secara berjenjang ke kesatuan di atasnya yang menaunginya, selanjutnya dilakukan penyortiran oleh satuan atas tersebut dan pada akhirnya tidak keseluruhan pengajuan anggaran akan disetujui dari Mabes Polri.
Sementara itu, kelemahan yang dimiliki dalam Sistem Kepolisian Terpisah (Fragmented System of Policing)  , antara lain :
a)   Pelaksanaan penegakan hukum yang dilaksanakan secara terpisah atau berdiri sendiri serta terbatasnya kewenangan lembaga kepolisian hanya sebatas pada daerah dimana lembaga kepolisian tersebut berada, maka akan terjadi hambatan atau membawa dampak kesulitan tersendiri ketika terjadi penaganan kasus-kasus kejahatan yang melibatkan yurisdiksi selain yurisdikasi lokal suatu lembaga kepolisian. Hal ini dipengaruhi oleh peraturan perundang-undangan yang dijadikan sebagai dasar hukum bagi lembaga kepolisian di suatu daerah tertentu di Amerika Serikat hanya akan memberikan wewenang, termasuk dalam hal penegakan hukum, bagi lembaga kepolisian setempat meliputi suatu daerah lokal saja dimana lembaga kepolisian tersebut berada dikarenakan pembuat peraturan perundang-undangan bagi setiap lembaga kepolisian di Amerika Serikat adalah setiap pemerintah daerah itu sendiri dimana suatu lembaga kepolisian berada.
b)   Tidak adanya suatu standar profesionalisme di bidang kepolisian akibat dari terjadinya fragmentasi sistem kepolisian di masing-masing daerah. Hal ini disebabkan karena setiap lembaga kepolisian diatur oleh setiap peraturan perundang-undangan yang berbeda antara satu dengan yang lainnya, sehingga akan terjadi kesulitan manakala akan dilakukan standarisasi terkait dengan profesionalisme di bidang kepolisian, mengingat banyaknya peraturan perundang-undangan tersebut sehingga akan cukup sulit jika dilakukan suatu standarisasi, kecuali dengan jalan merubah semua peraturan perundang-undangan yang sudah ada lebih dulu yang di dalamnya dilakukan suatu revisi yang memungkinkan untuk dilakukannya suatu standarisasi profesionalisme dimaksud.
c)    Pengawasan yang bersifat lokal menyebabkan tidak terlaksananya mekanisme kontrol dengan baik karena pengawasan hanya terjadi dalam satu level organisasi, tidak terdapat kontrol lagi diatasnya dengan wewenang yang lebih tinggi dalam hal pengawasan. Di satu sisi, sebagaimana dijelaskan diatas, pengawasan yang bersifat lokal memang memiliki dampak positif, namun di sisi lain juga memiliki dampak negatif, terutama dikarenakan tidak adanya mekanisme kontrol secara berlapis atau berjenjang sehingga jika satu lapis sistem pengawasan yang ada tidak optimal dalam menjalankan fungsinya, maka tidak akan ada koreksi dari lapis pengawasan lainnya dan akibatnya antara lain yaitu misalnya terjadi suatu penyimpangan dan lolos dari pengawasan maka kemungkinan besar selamanya penyimpangan tersebut tidak akan diketahui.

2.    Sistem Kepolisian di Jepang
Sistem kepolisian di Jepang menggunakan paradigma Integrated System of Policing, yaitu suatu sistem kepolisian yang terpadu atau sering disebut juga sistem desentralisasi moderat atau sistem kombinasi (Terri, 1984) atau sistem kompromi (Stead, 1977), artinnya bahwa dalam sistem kepolisian yang demikian terdapat sistem kontrol /pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah pusat dan daerah dengan tujuan agar dapat dihindari berbagai penyalahgunaan organisasi polisi nasional serta guna mencapai efektivitas, efisiensi dan keseragaman dalam hal pelaksanaan pelayanan kepada publik. Negara-negara yang menganut sistem kepolisian tersebut selain Jepang, antara lain : Inggris, Australia dan Brasilia (Bayley, 1985). Oleh karena itu, terkait dengan kelebihan maupun kelemahan yang terdapat dalam Sistem Kepolisian Terpadu (Integrated System of Policing) dapat berasal baik dari Sistem Kepolisian Terpisah (Fragmented System of Policing) dan Sistem Kepolisian Terpusat (Centralized System of Policing).
Sistem kepolisian dengan paradigma Integrated System of Policing tersebut mempunyai kelebihan, antara lain :
a)    Birokrasinya relatif tidak terlalu panjang karena terdapat keturutsertaan dalam hal tanggung jawab dari pemerintah daerah, tidak hanya pemerintah pusat saja yang bertanggung jawab. Hal ini merupakan kombinasi antara Sistem Kepolisian Terpisah (Fragmented System of Policing) dan Sistem Kepolisian Terpusat (Centralized System of Policing), yaitu dimana suatu lembaga kepolisian di suatu daerah tertentu selain mendapat sokongan dari pemerintah daerah setempat terkait dengan penyelenggaraan kegiatan kepolisian, termasuk dalam hal dukungan anggarannya, juga mendapat sokongan dari pemerintah pusat untuk kegiatan-kegiatan kepolisian tertentu.
b)   Cenderung terdapat atau terjadi standarisasi dalam hal profesionalisme kepolisian serta tercapai efektivitas maupun efisiensi dalam bidang administrasi maupun operasional. Hal ini dimungkinkan terjadi dalam Sistem Kepolisian Terpadu (Integrated System of Policing) karena setiap lembaga kepolisian yang ada di setiap daerah berada dalam satu struktur  lembaga kepolisian nasional, sebagaimana di Jepang yaitu di dalam wadah NPA (National Police Agency), artinya suatu standarisasi profesionalisme kepolisian dapat ditentukan karena adanya satu peraturan perundang-undangan yang sama yang mengatur lembaga kepolisian secara nasional.
c)    Sistem pengawasannya dapat dilakukan secara nasional, mengingat terdapat keterlibatan pemerintah pusat di dalam sistem kepolisian dengan paradigma tersebut. Hal ini dikarenakan dalam sistem kepolisian yang terpadu, pemisahan hanya terjadi dalam hal-hal yang terkait dengan fungsionalisasi operasional kepolisian, namun secara struktural tetap berada dalam satu wadah lembaga kepolisian nasional, sehingga memungkinkan terjadinya pengawasan oleh pemerintah pusat disamping oleh pemerintah daerah setempat.
d)   Koordinasi tiap-tiap wilayah mudah dilakukan karena adanya komando yang lebih tinggi di atas komando lokal. Hal ini dikarenakan lembaga kepolisian yang berada di daerah-daerah masih berada di bawah satu komando lembaga kepolisian nasional yang berada di pusat, sehingga secara berjenjang terdapat sistem komando yang berlapis dari struktur terbawah hingga teratas.
Namun di sisi lain terdapat kelemahan dari sistem kepolisian terpadu tersebut, dikarenakan antara lain :
a)     Penegakan hukum yang dilakukan terpisah atau berdiri sendiri artinya tidak bisa memasuki wilayah hukum daerah lain dalam menegakkan hukum. Hal ini dikarenakan dalam hal pelaksanaan penegakan hukum telah ditentukan berdasarkan peraturan perundang-undangan bahwa lembaga kepolisian lokal di suatu daerah hanya dapat menangani kasus-kasus kejahatan yang terjadi di daerahnya, sebagimana yang dilaksanakan di Jepang, suatu kesatuan setingkat Polres di Jepang, yaitu Police Station hanya dapat melakukan penegakan hukum di daerahnya saja sedangkan jika terjadi suatu kasus kajahatan yang melibatkan lebih dari satu daerah maka penanganannya dilaksanakan oleh satuan kepolisian setingkat Polda yaitu Perfektur, demikian pula jika terjadi kasus transnational crime maka lembaga kepolisian pusat yang akan menanganinya. Jadi disamping hal ini merupakan suatu kelemahan, namun juga terdapat kelebihan karena adanya pembagian wewenang yang jelas di antara setiap jenjang struktur lembaga kepolisian yang ada.
b)      Kewenangan kepolisian yang dimiliki bersifat terbatas hanya sebatas daerah di mana polisi tersebut berada atau bertugas, maka akan terjadi hambatan penanganan suatu kasus kejahatan manakala terjadi kasus kejahatan yang melibatkan lebih dari satu yurisdikasi kepolisian lokal. Dalam hal ini penanganan kasus tidak bisa dilakukan secara cepat sebagaimana yang terjadi di Indonesia dimana suatu satuan setingkat Polres dapat saja melakukan pengembangan suatu kasus kejahatan sampai ke luar wilayah hukum Polres tersebut memasuki wilayah hukum Polres lain selama masih terdapat kaitan peristiwa atau pembuktian dalam kasus tersebut.
3)       Sistem Kepolisian di Indonesia
Sistem kepolisian di Indonesia menggunakan paradigma Centralized System of Policing, yaitu suatu sistem kepolisian yang terpusat / sentralisasi di mana sistem kepolisian berada di bawah kendali atau pengawasan langsung oleh pemerintah pusat. Sistem ini dahulunya dianut oleh sistem pemerintahan yang totaliter seperti Jerman pada era Nazi. Negara-negara yang menganut sistem kepolisian ini selain Indonesia, antara lain : Perancis, Italia, Finlandia, Israel, Thailand, Taiwan, Irlandia, Denmark dan Swedia. Kelemahan dari sistem ini, antara lain :
a)    Cenderung dijauhi / kurang didukung masyarakat karena cenderung lebih memihak kepada penguasa. Hal ini dikarenakan lembaga kepolisian dalam negara dengan sistem kepolisian terpusat muncul dari adanya kepentingan negara tersebut akan perlunya suatu lembaga kepolisian sehingga terjadi kecenderungan dimana lembaga kepolisian akan menjadi alat kekuasaan daripada menjadi pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Berbeda halnya dengan negara dengan sistem kepolisian terpisah dimana lembaga kepolisian muncul dari adanya kepentingan masyarakat sehingga lembaga kepolisian yang demikian akan lebih peka terhadap situasi dan kondisi di dalam masyarakat yang pada akhirnya tugas pelayanan dan perlindungan kepada masyarakat akan dapat terlaksana secara optimal tercapai ketentraman di dalam masyarakat.
b)    Birokrasinya juga terlalu panjang, mulai dari level paling bawah hingga paling atas terletak dalam satu rangkaian sistem birokrasi. Hal ini memang masalah yang selalu melekat pada setiap organisasi dengan rantai birokrasi yang terlalu panjang, sebagaimana yang terjadi di dalam tubuh Polri karena banyaknya lapis birokrasi secara berjenjang dari mulai tingkat Polsek hingga Mabes Polri yang berakibat pada terjadinya ketidakefektifan maupun ketidakefisienan kinerja Polri, terutama yang berada di level Polres dan Polsek.
c)   Kurang dapat menyesuaikan dengan situasi dan kondisi masyarakat, karena panjang dan gemuknya rentang struktural dalam sistem kepolisian tersebut. Hal ini cenderung dikarenakan oleh karakteristik penyelenggaraan kebijakan-kebijakanpublik di bidang kepolisian bersifat top down, tidak bootom up, sehingga seringkali tidak tepat dan sulit menyesuaikan dengan masyarakat lokal dimana lembaga kepolisian lokal berada. 
d)  Terdapat kerentanan yang tinggi terhadap munculnya intervensi penguasa serta penyalahgunaan organisasi maupun wewenang kepolisian untuk kepentingan penguasa. Hal ini dikarenakan lembaga kepolisian dengan sistem kepolisian terpusat selalu memiliki ketergantungan terhadap pemerintah yang sedang berkuasa dengan kekuatan politik pendukungnya sehingga intervensi terhadap lembaga kepolisian dapat dengan mudah terjadi oleh penguasa ketika lembaga kepolisian tersebut tidak lagi mengindahkan posisi dan perannya sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat, melainkan justru menjadi alat kekuasaan karena adanya kepentingan tertentu.
Sedangkan kelebihan dari sistem kepolisian terpusat tersebut, antara lain yaitu :
a)  Mudahnya sistem komando dan pengendalian karena dapat dilaksanakan secara terpusat. Hal ini dikarenakan dalam struktur lembaga kepolisian dengan sistem kepolisian terpusat terdapat wewenang yang dimiliki oleh struktur teratas untuk melakukan pengendalian maupun komando tertentu terhadap seluruh kesatuan di bawahnya, sebagaimana di dalam tubuh Polri, maka Mabes Polri memiliki wewenang untuk memberikan komando maupun melaksanakan pengawasan terhadap setiap lapis struktur kesatuan di bawahnya (Polda, Polwil, Polres dan Polsek). Namun demikian, kelebihan tersebut juga dapat dipandang sebagai kelemahan mengingat akan terjadi suatu sistem komando dan pengendalian yang tumpang tindih, misalnya dalam hal komando dan pengendalian terhadap Polres, maka seluruh kesatuan yang ada diatasnya, yaitu Polwil, Polda dan Mabes Polri, memiliki wewenang yang sama sehingga sangat mungkin pada suatu saat terjadi ketidaksinkronan komando dan pengendalian dari satuan-satuan atas tersebut terhadap Polres tersebut.
b)  Wilayah kewenangan hukumnya lebih luas dibandingkan dengan sistem desentralisasi, karena kewenangan tersebut bersifat nasional, sehingga tidak terdapat hambatan terkait dengan hal-hal yurisdiksional terutama terkait dengan pelaksanaan penegakan hukum.
c)   Terdapat standarisasi profesionalisme, efisiensi dan efektivitas baik dalam bidang administrasi maupun operasional. Hal ini sangat dimungkinkan dilaksanakan dalam suatu lembaga kepolisian dengan sistem kepolisian terpusat mengingat seluruh lembaga kepolisian berada dalam satu wadah lembaga kepolisian nasional yang diatur berdasarkan satu peraturan perundang-undangan, sebagaimana peraturan perundang-undangan yang mengatur Polri yaitu UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri.
d)  Ruang lingkup pengawasan dalam sistem ini sifatnya lebih luas dibandingkan dengan sistem desentralisasi karena pengawasan tidak hanya pada tataran lokal tapi secara berjenjang sampai dengan level nasional.


KESIMPULAN
Melalui pemahaman konsep sistem, maka akan didapatkan suatu pandangan tentang suatu kesatuan himpunan yang utuh menyeluruh dengan bagian-bagian yang saling berkaitan, saling ketergantungan, saling bekerjasama berdasarkan aturan tertentu, untuk mencapai tujuan dari sistem ( Prof. Djoko Sutono, C.W. Churchman, Matheus, Lempiro). Oleh karena itu, termasuk pula dalam hal perbandingan atas sistem-sistem kepolisian yang digunakan dalam negara-negara demokratis tersebut diatas, maka didapatkan suatu pemahaman bahwa tidak ada suatu sistem kepolisian yang sempurna karena masing-masing sistem kepolisian tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan tersendiri.
Dengan adanya kelebihan yang dimiliki dalam suati sistem kepolisian tertentu, maka selayaknya dapat difungsikan sebagai kekuatan (strength) dan peluang (opportunity) yang harus dioptimalkan eksistensinya guna menutupi atau mengeliminasi kelemahan (weakness) yang dimiliki dalam sistem kepolisian tersebut. Kelebihan dimaksud harus dikelola dengan baik sehingga tidak justru menjadikan timbulnya ancaman (threat) tersendiri bagi operasionalisasi sistem kepolisian tersebut karena tidak ada satu pun sistem kepolisian yang paling sempurna di dunia, melainkan setiap sistem kepolisian pasti memiliki kelebihan dan kelemahan.