Senin, 23 April 2012

POLRI & Masyarakat Majemuk Indonesia



Polri  dan Masyarakat Majemuk Indonesia

   D
alam uraiannya mengenai tuntutan Profesionalisme di kalangan kepolisian, Prof. Harsja Bachtiar mengatakan bahwa polisi Indonesia harus mampu mengatasi berbagai masalah yang dihadapi di Indonesia yang corak masyaraktnya amat kompleks sebagaimana dikatakannya ( 1994 : 9).

          Indonesia sangat berbeda daripada kebanyakan negara lain di dunia ini, bahkan merupakan kepulauan yang amat banyak pulaunya, dan penduduk sedemikian banyak sehingga merupakan negara keempat di dunia, sesudah Cina, dan Amerika Serikat, bila diukur atas dasar jumlah penduduknya. Indonesia merupakan kepulauan yang memperlihatkan daerah – daerah yang berbeda – beda keadaan lingkungan alamnya, berbeda – beda bahasa dan kebudayaan penduduknya, berbeda – beda agamanya, berbeda – beda sejarah dan perkembangan pendidikan dan tingkat pendidikan pada umumnya, berbeda – beda tingkat perkembangan ekonomi dan teknologinya, berbeda – beda prasarana komunikasinya, berbeda – beda prasarana pengangkutan dan perhubungannya, serta berbeda – beda dalam berbagai hal lain. Begitulah keadaan umum wilayah negara yang menjadi lapangan kerja kepolisian Republik Indonesia.

          Sesungguhnya masyarakat Indonesia tidak hanya amat kompleks tetapi juga bercorak majemuk. Sebagai sebuah masyarakat majemuk, Indonesia adalah sebuah masyarakat – negara yang terdiri atas banyak suku bangsa, yang jumlahnya lebih dari 500 buah, yang dipersatukan oleh satu sistem nasional Indonesia. Suku bangsa sebagai sebuah golongan sosial yang askriptif dapat mewujudkan diri dalam bentuk kelompok – kelompok atau masyarakat – masyarakat bangsa. Masing – masing dengan kebudayaan atau pedoman bagi kehidupan yang digunakan oleh para pelakunya untuk memahami, memanfaatkan, dan menguasai sumber – sumber daya dalam lingkungan yang mereka hadapi sehari – hari untuk pemenuhan kebutuhan – kebutuhan mereka. Secara samar – samar maupun secara jelas masing – masing suku bangsa di Indonesia mengakui dan diakui hak kepemilikan dan penguasaannya atas wilayah – wilayah yang merupakan lingkungan tempat hidup dan mata pencaharian mereka, hak yang sudah ada sebelum adanya hak nasional yang dipunyai oleh sistem nasional Indonesia, karena suku bangsa – suku bangsa di Indonesia sudah ada sebelum adanya Republik Indonesia yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945.

        Suku – suku bangsa di Indonesia memperlihatkan keanekaragaman secara horizontal dan vertika : keanekaragaman secara demografi, ekonomi dan teknologi, politik dan corak kebudayaan pada umumnya. Keanekaragaman suku bangsa tersebut diperkaya lagi dengan masuk dan diterimanya agama – agama. 

          Setiap orang Indonesia adalah seorang warga suku bangsa. Dia mempunyai jati diri suku bangsa atau kesukubangsaan tanpa mampu untuk menolaknya. Karena setiap orang Indonesia dilahirkan oleh orangtua yang masing – masing mempunyai jati diri suku bangsa. Dalam keadaan di mana kedua orang tua berasal dan suku bangsa yang berbeda maka dia mempunyai pillihan jati diri suku bangsa yang dapat diacunya, yaitu kesukubangsaan bapaknya, ibunya, atau daerah tempat dilahirkan dan dibesarkannya. Seorang anak bukan hanya dilahirkan dalam keluarga suku bangsa tetapi juga sejak bayi dibesarkan menjadi manusia dan mahluk sosial serta berbudaya oleh keluarga atau orang tuanya yang dilakukannya dengan mengacu pada kebudayaan suku bangsanya. Karena kesukubangsaan dan kebudayaan suku bangsa yang dipunyai oleh seseorang adalah sesuatu yang utama dan yang pertama atau yang primordial dalam kehidupannya. Karena itu sentimen kesukubangsaan dengan mudah digalang untuk solidaritas guna memenangkan sesuatu persaingan atau konflik.

         Sedangkan sistem nasional, yang terwujud sebagai dasar negara dan pemerintahan, dibentuk berlandaskan pada prinsip ideologi kebangsaan yang rasional yang berada di atas dan memanyungi berbagai bentuk sistem kesukubangsaan dari suku bangsa – suku bangsa di Indonesia. Termasuk dalam pengertian ini adalah konsep hak atas air, udara, dan bumi beserta segala isinya yang mendudukkan posisi hak suku bangsa sebagai berada di bawah hak yang dipunyai oleh negara. Dalam keadaan demikian, hubungan antara sistem nasional dengan suku bangsa – suku bangsa yang ada di Indonesia sebenarnya dapat dilihat sebagai berada dalam hubungan konflik atau hubungan persaingan untuk memperebutkan hak penguasaan dan pendistribusian atas air dan bumi beserta segala isinya, serta hak untuk mengatur dan memerintah masyarakat – masyarakat suku bangsa yang ada.

        Sistem nasional Indonesia adalah sebuah sistem yang didasari oleh ideologi kebangsaan yang rasional dan terbuka bagi semua warga negaranya untuk memasuki dan mendududki jabatan – jabatan yang tersedia dalam pranata – pranata atau lembaga – lembaganya. Karena sistem nasional tersebut terbuka dan dalam sistem nasional Indonesia tidak ada ketentuan bahwa kesukubangsaan tidak boleh diaktifkan dalam persaingan untuk memperebutkan sumber – sumber daya dan jabatan – jabatan yang tersedia dalam struktur – strukturnya maka sistem nasional merupakan ajang pertentangan antar suku bangsa dalam upaya memperebutkan atau mempertahankan sesuatu jabatan atau sesuatu penguasaan atas sumber – sumber daya yang tersedia.

          Mayarakat majemuk termasuk masyarakat Indonesia, adalah masyarakat yang rawan konflik yang dapat menjurus pada disintegrasi masyarakatnya. Konflik – konflik yang potensial menuju disintegrasi masyarakat adalah konflik antar suku bangsa, termasuk konflik antar pemeluk agama karena melibatkan sentimen – sentimen primordial yang mendalam dan mendasar.

          Masyarakat madani atau masyarakat sipil menurut Gellner ( 1995 : 32 ) adalah sebuah masyarakat dengan seperangkat pranata non – pemerintah yang cukup kuat untuk menjadi penyeimbang dan kekuasaan negara, dan yang pada saat yang sama, mendorong pemerintah untuk menjalankan peranannya sebagai penjaga perdamaian dan penengah di antara berbagai kepentingan utama dalam masyarakat, serta mempunyai kemampuan untuk menghalangi atau mencegah negara untuk mendominasi dan mengecilkan masyarakat. Corak masyarakat sipil bertentangan dengan corak masyarakat yang despotik, karena di dalam masyarakat yang despotik kesadaran sosial yang ada dalam berbagai kelompok masyarakat golongan bawah akan ditindas dan dieksploitasi untuk kepentingan dan keuntungan pemerintah. Sementara masyarakat madani atau sipil yang modern dibangun berlandaskan demokrasi yang mencakup prinsip –prinsip kedaulatan rakyat, pemerintahan berdasarkan persetujuan dan yang diperintah oleh kekuasaan mayoritas, hak – hak minoritas, jaminan hak – hak asasi manusia, pemilihan yang bebas dan jujur, persamaan hak di depan hukum, proses hukum yang wajar, pembatasan kekuasaan pemerintah secara konstitusional, kemajemukan sosial, ekonomi, dan politik, nilai – nilai tolerasi, pragmatisme, kerja sama dan mufakat ( lihat Lubis, 1994 ).

          Perananan polisi dalam turut dan melindungi masyarakat dari berbagai gangguan rasa tidak aman dan kejahatan adalah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, baik melindungi warga masyarakat  maupun melindungi berbagai lembaga dan pranta sosial, kebudayaan dan ekonomi yang produktif. Peranan ini hanya mungkin dapat dilaksanakan bila fungsi polisi tersebut sesuai dengan tuntutan kebutuhan masyarakat dan dilakukan oleh petugas kepolisian secara profesional.
d
Dikutip dari buku : Prof. Parsudi Suparlan, Ph. D