Senin, 09 April 2012

Polisi Idaman : Alm. Jenderal ( Purn ). Hoegeng Iman Santoso



HOEGENG IMAN SANTOSO
POLISI IDAMAN

(SEBUAH BIOGRAFI)
a

LATAR BELAKANG

Dalam tulisan ini akan diuraikan mengenai perjalanan hidup dan karier dari tokoh Hoegeng Iman Santoso mulai dari masa kanak-kanak hingga beliau menjadi Kepala Kepolisian Republik Indonesia yang ketiga.

      Hebatnya Pak Hoegeng, dia tidak bersih untuk dirinya sendiri, tapi juga berusaha melakukan perubahan di lingkungan tempat kerjanya agar menjadi lingkungan yang betul-betul bersih. Tidak sedikit orang bersih dalam tubuh pemerintahan sekarang, tapi kebanyakan mereka tidak menebarkan inspirasi dan motivasi bagi perubahan kolektif disekitarnya. Ketika di Medan, Pak Hoegeng memprakarsai pertemuan-pertemuan  dan lobi-lobi antikorupsi secara reguler, dengan melibatkan para pejabat sipil dan militer serta tokoh masyarakat.
      Sesungguhnya Pak Hoegeng sudah menerapkan strategi Good Governance, yang sekarang menjadi ideologi global untuk melawan korupsi, yaitu diperlukan adanya aksi bersama dari pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat warga (civil society), pendekatan yang sama beliau pakai juga ketika di imigrasi, pajak, dan bea cukai.
  


BAB I
MASA KANAK-KANAK DI PEKALONGAN

      Hoegeng Iman Santoso berasal dari keluarga baik-baik, suatu keluarga yang terhormat. Ayahnya dapat dikatakan orang Tegal, sedangkan Ibu orang Pemalang.
      Dia sendiri lahir tanggal 14 Oktober 1921 di Kota Pekalongan, kota kecil di pesisir  utara Jawa Tengah, kurang lebih 100 kilometer di sebelah barat kota Semarang. Tepatnya di Kampung Pesatean, salah satu Kawasan yang dulunya merupakan salah satu perkampungan orang arab di sana, dan tak jauh dari Bong Cina yaitu kompleks pekuburan orang-orang cina. Sebab lahir dan besar di Pekalongan maka dia agaknya lebih dikenal sebagai orang Pekalongan.
      Yang pertama – tama hendak saya kisahkan adalah bagaimana dia memang dianggap orang Pekalongan oleh orang yang mengenal Pekalongan dan  mengenal nya. Setidak – tidaknya bagaimana dia diperlakukan sebagai orang Pekalongan sendiri. Tentang itu ada suatu ilustrasi.
      Pada tahun 1965 dia diangkat Presiden Soekarno sebagai Menteri Iyuran Negara dalam kabinet yang sering di ejek orang sebagai Kabinet Seratus Menteri ! Pengangkatannya itu konon atas usulan Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Dia rupanya dinilai pantas untuk jadi menteri meskipun berasal dari Jajaran Kepolisian, dia berkantor di gedung keuangan sekarang. Sabagai menteri tamu-tamunya tentulah bukan orang-orang sembarangan sebab tidak sembarang orang perlu berurusan dengan menteri! Ini bukan membanggakan diri, hanya sekedar penjelasan ringkas tentan soal-sola praktis saja.
      Tapi suatu hari, ketika beliau sedang berada di kamar kerjanya, maka datanglah seorang tamu yang tidak biasa, bukan pejabat negara dan juga bukan pemimpin masyarakat . Sekretarisnya melaporkan,bahwa di balik pintu sedang menunggu seorang tamu, nama si anu pekerjaan seorang karyawan batik di Pekalongan.
      Sang tamu tak mau bilang untuk apa ia datang menemui Hoegeng. Ia hanya mendesak agar kepadanya disampaikan seorang sahabat dari Pekalongan mau bertemu.
“Pak Hugeng pasti mau menerima kedatangan saya!” Demikian ia mendesak meyakinkan sekretarisnya. Segera Hoegeng teringat bahwa yang hendak berjumpa dengannya itu adalah temannya main layangan ketika masih murid HIS ( Hoollandschii Inlandsche School, semacam SD sekarang ) tahun 1928.
      Jika di saat-saat tertentu Hoegeng pulang Pekalongan maka dia berjumpa si Bongkok lagi. “Saya tak lupa namanya”, Hasan, juga tubuhnya atau punggungnya sedikit bongkok. Hoegeng meminta pada sekretaris agar sang Tamu di persilahkan masuk. Hanya saja dalam hatinya bertanya-tanya, urusan atau kesulitan apakah yang sedang di hadapi sobatnya yang datang dari Pekalongan itu sehingga ia harus memutuskan menghadap seorang menteri? Apakah masalah yang dihadapinya teramat besar sehingga hanya bisa ditangani seorang menteri seperti Hoegeng ? “Saya tentu hanya bisa menduga-duga dan tak ada hasilnya”. Terus terang ,hati Hoegeng agak risau memikirkannya.
Dari pintu masuklah Hasan.Namun begitu pintu tertutup atau ditutup kembali, maka menyeburlah sumpah serapahnya yang hangat dan gembira: “Asu kowe benar-benar asu ya, gendeng benar wong Pekalongan bisa-bisanya jadi menteri!” Mereka bersalaman, berangkulan dengan hangat dan seolah olah berpacu siapa yang tertawa yang paling keras! Bagi yang kurang mengerti bahasa Jawa harap maklum bahwa asu berarti Anjing. Jadi saya yang sudah menteri di Republik Indonesia justru dimaki-maki sebagai anjing. Saya dan dunia ini malah di bilang gendeng (gila), hanya gara gara seorang Pekalongan diangkat menjadi menteri !
      Bagi kebanyakan pembaca yang tak mengerti orang Pekalongan, barangkali si Hasan bongkok itu itulah yang justru gendeng atau gila. Apalagi kedatanganya bukan untuk suatu urusan besar atau kecil bagi seorang  menteri, tapi justru hanya untuk memaki maki itu saja. Tapi itulah gaya orang Pekalongan, setidaknya antar orang-orang Pekalongan yang  merasa akrab satu sama lain. Segala tata krama dan bahasa halus lenyap, diganti dengan bahasa Tarzan yang hangat, spontan dan jujur. Kehangatan kata-kata yang spontan lebih mengesankan daripada arti normatif kata-kata yang diucapkan.
      Teman saya Hasan tidaklah menghina Hoegeng dengan kata-katanya. Ia hanya bermaksud, dengan gaya Pekalongan yang Khas, untuk menyatakan atau mengekspresikan rasa gembiranya karena salah seorang teman akrabnya diangkat menjadi seorang menteri!
      Seingatnya masih ada seseorang yang lain yang mengingatkannya akan gaya Pekalongan. Tetapi kali ini bukan dari orang biasa yang bongkok dan Karyawan batik. Yang dimaksud adalah dr.Soebandrio, yang selalu dipanggilnya Mas Ban. Hoegeng mengenalnya ketika masih menjadi mahasiwa hukum di Batavia, sedangkan Mas Ban mahasiswa kedokteran. Dan di zaman Revolusi kemerdekaan mereka bertiga _Sayuti Malik_,dr. Soebandrio dan Hoegeng pernah bersama sama ditugaskan Gubernur Jawa Tengah Mr. Wongsonegoro untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan pergolakan “Revolusi Sosial” pada akhir Tahun 1945 di tiga daerah ( Tegal,Brebes dan Pemalang. Dr. Soebandrio adalah anak seorang Wedana berasal dari Jawa Timur, seorang yang terpelajar atau berpendidikan tinggi akan tetapi akhirnya bergerak di lapangan politik, dunia diplomasi dan pemerintahan. Pada zamanya ia dikenal sebagai Menteri Luar Negeri Indonesia yang populer,cerdas, dan cerdik serta disukai para wartawan. Seperti Adam Malik, baginya bagaikan tak ada jawaban “No Comment” atas pertanyaan para wartawan. Puncak kariernya politiknya ialah ketika Mas Ban diangkat menjadi Waperdam I ( Wakil Perdana Menteri I ), suatu posisi yang menempatkan dirinya sebagai orang kedua di Indonesia sesudah Presiden Soekarno! Bahwa pada akhirnya Mas Ban harus meringkuk di penjara, hanyalah suatu resiko yang kadangkala memang harus diterima seorang politikus semacam dia.
      Yang hendak saya kisahkan disini adalah ketika nama-nama menteri diumumkan Presiden Soekarno, maka Dr Soebandrio sedang tidak di indonesia.Sebagai menteri Luar Negeri Mas Ban sedang bertugas di Aljazair. Tapi ia dapat mengikuti perkembangan di Tanah air melalui radio. Dan dari siaran radiolah Mas Ban mengetahui bahwa saya diangkat sebagai Menteri Iuran Negara. Maka dari Aljazair Mas Ban mengirim sebuah telegram pada saya. Isinya adalah sambutan hangat atau semacam ucapan selamat atas diri saya pribadi.
      Sebuah telegram yang bagi Hoegeng terasa luar biasa manis sehingga begitu dia buka maka saya kontan tertawa terbahak-bahak. Niscaya suatu ucapan selamat yang orisinil dan paling meriah di dunia, tapi dia tak berani memperlihatkan telegram itu pada siapa pun. Telegram itu hanya berbunyi, “Diancuk, kowe diangkat pula jadi menteri!”
      Demikianlah dr. Soebandrio. Gayanya mengingatkan Hoegeng akan gaya Pekalongan. Jika teman Pekalongannya menggunakan kata ‘asu’ maka mas Ban seperti orang Surabaya hanya mengggantinya dengan ‘diancuk!’. Kesan yang jelas sekali. Nampaknya tak ada perbedaan gaya Pekalongan yang dipakai Hasan dengan gaya Surabaya yang dipakai dr. Soebandrio yang adalah Menteri Luar Negeri dan Waperdam I di Republik Indonesia.
      Yang tergambar dalam batok kepala Hoegeng adalah, bahwa baik dalam gaya Pekalongan atau barangkali juga gaya Surabaya, yang penting adalah rasa akrab yang hangat dalam kata-kata. Sama sekali bukan norma-norma, termasuk arti resmi kata-kata yang digunakan. Orang Pekalongan dan barangkali juga orang Surabaya memang unik dalam hal ini. Apabila seseorang sudah merasa akrab dengan yang lain mak dengan sendirinya segala perbedaan strata dan norma-norma sosial yang resmi dan umum menjadi hilang. Maka tak ada perbedaan antara seorang manusia kecil di mata umum dengan pejabat atau pemimpin. Hasan agaknya lebih risau berhadapan dengan sekretaris Hoegeng daripada dengannya sendiri yang waktu itu sudah menjadi menteri. Sebaliknya Hoegeng sendiri tidak merasa lebih tinggi dari Hasan.
      Hoegeng adalah seorang yang rendah hati, itu merupakan sikap dasarnya, bila berhadapan dengan seseorang maka dia tidak mengukur seseorang dari status sosial  dan kedudukannya, tidak juga dari perbedaan posisi, paham dan pilihan politik, ataupun juga perbedaan ras dan golongan, jika Hoegeng berhadapan dengan seseorang maka ia akan menghadapinya sebagai manusia, sikap demikianlah yang didambakannya dalam hidup ini.
      Dia memiliki teman akrab dari berbagai bangsa, dan banyak diantaranya orang Belanda totok atau orang Indo. Pada tahun 1952 setelah selesai diwisuda yang pertama dari Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian Hoegeng beserta lulusan lainnya diminta Presiden Soekarno datang ke istana negara di jalan Merdeka, Bung Karno rupanya menaruh perhatian besar terhadap lulusan PTIK yang pertama kalinya ini, mereka ditanyai satu persatu oleh Bung Karno tentang asal daerah, keluarga dan lain sebagainya.



BAB II
MASA SEKOLAH DAN MASA REMAJA

      Orang tua Hoegeng pindah ke kota kecil Pemalang, bekerja sebagai Jaksa di Landraad ( Pengadilan Negeri ) setempat, ketika tahun 1927 pertama kali masuk sekolah di kelas I HIS ( Hollandsch Inlandsche School ) di Pemalang. Saat itu Hoegeng berumur 6 tahun, dia mau kala dia duduk di bangku sekolah agar ayahnya juga menemaninya sampai dengan lon ceng tanda pulang sekolah berbunyi, “ sungguh suatu hal yang lucu “, ungkapnya. Dia mempunyai guru yang bernama Mevrouw Souissa, menurutnya gurunya ini orang yang sangat baik dan penuh pengertian, berbagai cara dibuatnya agar Hoegeng tidak lagi meminta ayahnya untuk menemaninya selama di sekolah, dan ternyata hal tersebut berhasil, sejak saat itu Hoegeng tidak mau lagi ditemani ayahnya di sekolah, malah ia berangkat ke sekolah sendiri dengan menaiki pedati, yang memang menjadi angkutan di pekalongan pada zaman itu.
      Kemudian pada kelas II ayahnya dipindahkan ke Pekalongan, maka Hoegeng kecil juga pindah ke HIS Pekalongan, yang mana Kepala sekolahnya pada saat itu adalah Meneer Edeking.
      Hoegeng menamatkan HIS nya pada tahun 1934, lantas masuk MULO ( Meer Uitgebreid Lager Onderwijs ) Pekalongan, setara denga SLTP sekarang. Bahasa pengantar pada sekolah tersebut adalah bahasa Belanda, mata pelajarannya antara lain bahasa Belanda, Prancis, Jerman, Wiskunde (matematika), Biologi, Ilmu hewan, Sejarah, Menggambar, Ilmu alam, dan Ilmu ukur.
      Pada kuartal pertama Hoegeng mendapat nilai yang lumayan, namun pada kuartal kedua nilainya menurun, ini akibat seringnya ia bermain layangan.
      Kegiatan Hoegeng diluar sekolah selain mengaji secara rutin dia juga senang dengan alat-alat musik, dia sering memainkannya ditambah dengan hobinya menyanyi, dia bergabung dalam grup musik “Hawaiian”.
      Setamat dari MULO Pekalongan pada tahun 1937 Hoegeng menyambung sekolah di AMS ( aglemeene Middlebare School ) Yogya, itu sejenis SLTA sekarang. Di AMS Hoegeng juga melanjutkan hobi musiknya melalui grup Hawaiian diluar sekolah. Dia menamatkan AMS nya pada tahun 1940.
      Setelah lulus dari AMS Hoegeng kemudian melanjutkan studynya ke RHS ( Recht Hoge School ) di usianya yang ke 19, Hoegeng masuk ke RHS dengan maksud untuk dapat melanjutkan sekolah di sekolah Komisaris Polisi di Sukabumi, ini merupakan cita-citanya sejak kecil. Gedung RHS adalah gedung disamping museum Gedung Gajah, yang kini dipakai Departemen Hankam di jalan Merdeka Barat, disana dia mempelajari Ilmu Ekonomi, Ilmu Hukum, Hukum Pemerintahan, Bahasa Jawa, Hukum Adat, dan juga Tenteerder. Selama kuliah di RHS Hoegeng juga bergabung dengan perkumpulan Mahasiswa Indonesia USI. Namun sayangnya Hoegeng tidak begitu lama kuliah di RHS sebab masuknya Jepang ke indonesia yang kemudian RHS ditutup.



BAB III
MENJADI ANGGOTA POLISI

      Tutupnya RHS di Batavia lalu Hoegeng menganggur di Pekalongan pada masa penjajahan Jepang. Ia mengisi kegiatan sehari-harinya dengan berdagang keliling kecil-kecilan, ia menjual telur, buku-buku pelajaran bahasa Jepang kemana-mana dengan menaiki sepeda.
      Kemudian setelah itu ada buka lowongan buat pemuda pemudi Indonesia memasuki suatu kursus Polisi, minimal tamatan MULO di kantor Polisi keresidenan Pekalongan guna menggantikan 11 orang inspektur Polisi orang Belanda dan Indo yang sudah berada dalam tahanan Jepang. Namun setelah lulus test masuk Hoegeng dan 10 orang rekannya yang lain tidak menyandang pangkat Inspektur (Keibu dalam bahasa jepang) tetapi hanya diberi pangkat Hoofd Agent Polisi yang setara dengan bintara.
      Kursus dan latihan Polisi di Pekalongan dipimpin oleh orang Indonesia yaitu Pak Soemarto yang saat itu merupakan orang yang pangkatnya tertinggi di Pekalongan yakni Komisaris Polisi Kelas I, lokasi dari kursus Polisi itu yaitu di asrama Polisi ( Tangsi ) Kraton, Pekalongan. Sekolah Polisi ini didikannya seperti Militer, keras sekali disiplinnya, bersifat Spartan, dimana kegiatannya adalah latihan-latihan fisik, penggunaan senjata, baris berbaris dan latihan bela diri. Setelah lulus kursus kemudian Hoegeng ditarik Pak Soemarto bekerja di kantor Jawatan kepolisian Keresidenan Pekalongan, saat itu umurnya 21 tahun. Kemudian pemerintah pusat membuka pendidikan untuk kader tinggi kepolisian, lalu Hoegeng mengikuti test dan lulus kemudian mengikuti pendidikan kepolisian di Sukabumi. Sekolah Polisi di zaman Jepang dibagi dua, yang pertama tingkat Koto Kaisatsu Gakko ( kader Polisi Tinggi ) dan yang kedua untuk tingkat Futsuka Kaisatsu Gakko ( Agen Polisi ), yang masuk Koto adalah kader-kader polisi yang sudah pernah memiliki kursus polisi dan sudah bertugas, sementara Futsuka ditujukan bagi mereka yang belum pernah mengikuti kursus polisi.
      Kebanyakan dari guru dan instruktur di sekolah polisi Tinggi sukabumi adalah orang Jepang, sebelum lulus para siswa sudah diberi pangkat Junsabutyo dan sudah menerima gaji yang besarnya Rp 45,-, setelah lulus dari sekolah tersebut para siswa diberi pangkat Minarai Junsabutyo, tidak sesuai dengan janji Jepang yang menjanjikan setelah lulus dari sekolah ini akan berpangkat Inspektur.
      Setelah tamat dari sekolah Polisi Sukabumi Hoegeng ditempatkan di Kantor Keamanan ( Chiang Bu ) Semarang, Chiang Bu membawahi unsur kejaksaan dan kepolisian. Kepolisian saat itu membidangi tugas (a) Koto Kei Satsuka (DPKN ), (b) Keimu Ka (Umum), (c) Keizai Ka (Ekonomi). Hoegeng bekerja di Koto Kei Satsuka. Ditempat ini Hoegeng dinaikkan pangkatnya dari Minarei Junsa bucho menjadi Kei Bu Ho II atau Ajun Inspektur Polisi Kelas II.
      Setelah beberapa bulan bekerja di Chiang Bu maka Hoegeng dipindahkan ke Seksi II Kepolisian Kota Semarang, jabatannya Wakil Kepala Seksi II, disini pangkatnya naik menjadi Kei Bu Ho I atau Ajun Inspektur Kelas I, dan kemudian ditarik menjadi Kepala Seksi II tersebut. Dia bekerja saat itu dibawah pimpinan orang Jepang, pada dasarnya tugasnya saat itu adalah mengerahkan polisi-polisi Indonesia untuk menjalankan apa maunya orang Jepang. Terakhir dia dipindahkan Jepang ke Bojong, di tempat ini Hoegeng bekerja dibawah R. Soekarno Djojonegoro yang menjabat sebagai Keibi Kacho (Kepala Bagian Penjagaan). Dari sini dapat diketahui bahwa karier polisinya dimulai dari bawah.
     Tanggal 17 Agustus 1945 Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan Kemerdekaan Indonesia, kejadian ini berpengaruh besar juga terhadap situasi daerah-daerha termasuk semarang dan sekitarnya. Saat itu Hoegeng masih bekerja di Keibi Kacho, ada perintah agar seluruh aparat kepolisian berkumpul di Semarang, pada pertemuan tersebut diberikan briefing agar polisi mengambil alih pemerintahan dari orang Jepang. Hal tersebut dilaksanakan Hoegeng dan kawan-kawan, bukan hanya sekedar mengambil alih kantor-kantor pemerintahan saja, tetapi para pemuda yang demam revolusi juga mencuri senjata-senjata orang Jepang dengan maksud untuk berjaga-jaga atas situasi dan keadaan selanjutnya.
      Selama masa revolusi kemerdekaan sudah merupakan hal yang biasa bagi pemuda-pemuda Indonesia berpindah-pindah dari kesatuan yang satu ke kesatuan yang lain, demikian juga dengan Hoegeng. Hal ini bermula ketika ia bertemu dengan M.Nazir (berpangkat Kolonel L saat itu) M.Nazir menawarkan kepadanya agar bergabung dengan Angkatan Laut, dengan alasan bahwa di Angkatan laut sedang melakukan pembenahan dan memerlukan orang-orang seperti Hoegeng, sementara jawatan Kepolisian saat itu struktur dan bidang pekerjaannya sudah definitif. Maka Nazir menawarkan Hoegeng untuk bekerja bersamanya di Angkatan Laut Yogyakarta yang saat itu baru dirintis.
      Suasana perjuangan kemerdekaan saat itu sedang mengalami titik puncaknya karena datangnya pasukan Sekutu ke Indonesia. Kenyataan bahwa bersama datangnya pasukan Sekutu membonceng pasukan NICA ( Netherland Indisch Civil Administration ) yang berusaha mengibarkan kembali bendera tiga warna (Belanda).
      Sebenarnya tugas pokok Sekutu pada saat itu adalah (a) Mengurus tawanan perang yang disekap Jepang dalam rumah-rumah penjara, (b) Melucuti dan mengembalikan serdadu-serdadu Jepang ke negerinya, dan (c) Menegakkan kembali ketertiban dan keamanan. Akibat dari situasi Sekutu yang membonceng NICA dan berusaha untuk mengembalikan kekuasaan Belanda terhadap Indonesia ini maka timbul gejolak-gejolak perlawanan dari pemuda Indonesia pada saat itu, dan yang terbesar adalah pertempuran 10 November 1945 di Surabaya. Hoegeng sebagai seorang pemuda saat itu juga merasa terpanggil jiwa kepahlawanannya, sehingga ia berpikir bahwa jalan yang paling tepat adalah dengan memasuki tentara, dengan demikian ia begitu saja meninggalkan jawatan kepolisian dan melapor ke M.Nazir di Yogyakarta serta bergabung dengan Angkatan Laut. Di sana Hoegeng diberi pangkat Mayor  dan menjabat sebagai Komandan Angkatan Laut. Oleh M.Nazir ia diperintahkan untuk membentuk dinas Kepolisian Militer Angkatan Laut yang bernama satuan Penyelidik Militer Laut Khusus (PMLC).
      Pada suatu kesempatan di Yogya Hoegeng bertemu dengan mantan gurunya di sekolah Polisi Sukabumi R.S Soekanto, yang memangku jabatan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia (kemudian diganti Panglima Angkatan Kepolisian lalu Kapolri) yang pertama. R.S Soekanto saat itu sedang menghadiri sidang kabinet di Yogya. Dalam perbincangan mereka R.S Soekanto menyadarkan Hoegeng bahwa sebagai alumnus sekolah kepolisian seharusnya ia tetap dijajaran kepolisian, akhir kata Hoegeng kembali ke jawatan kepolisian.
      Pada saat berdinas di Angkatan Laut Yogyakarta Hoegeng juga bertemu dengan seorang gadis yang bernama Meryati, gadis ini juga sebenarnya berasal dari daerah yang sama dengannya yakni daerah Pekalongan. Mery bekerja sebagai penyiar di radio ALDO Yogyakarta, dimana Hoegeng juga sering berkunjung kesana karena salah seorang temannya yang bernama Iskak mempunyai urusan di radio tersebut sebagai seorang sutradara acara radio. Mery adalah anak dari dokter Soemakno yang bekerja sebagai Inspektur Kesehatan untuk daerah Jawa Tengah yang berkedudukan di Yogyakarta, alhasil karena sering bertemu dan mereka memainkan sandiwara radio bersama Hoegeng jatuh cinta kepada Mery dan selanjutnya memperisterinya.


BAB IV
KEMBALI KE JAWATAN KEPOLISIAN

      Keluar dari Angkatan Laut Hoegeng bergabung kembali dengan jajaran kepolisian di Yogya, kemudian dia sekolah lagi sebagai mahasiswa tugas belajar Akademi Kepolisian di Mertoyudan, dengan pangkat Inspektur Polisi Kelas II. Pada saat tugas belajar ini isterinya Mery melahirkan anak pertama mereka pada tanggal 6 Desember 1947, mereka memberi nama Reni Soerjanti Hoegeng, yang sekarang menjadi Nyonya Rudi Wowor.
      Pada tanggal 20 Juli 1947 meletus Agresi Militer Belanda I, akibat situasi tersebut ada perintah dari Kepala Kepolisian di Yogya melalui Kepala Kepolisian Residen Pekalongan Soekarno Djojonegoro yang isinya kepada mahasiswa Akademi Kepolisian agar bergabung dengan kepolisian setempat. Maka demikianlah Hoegeng melapor untuk bergabung dengan kepolisian di Pekalongan. Pusat Kepolisian RI di Yogya saat itu dipindahkan ke Purwokerto, sedangkan di kota Pekalongan, berhubung pusat kota sudah dikuasai militer Belanda, maka kegiatan pemerintahan dan kepolisian dipusatkan dipinggiran selatan kota Pekalongan.
      Tanggal 2 Agustus PBB turun tangan dengan memutuskan agar Indonesia-Belanda menghentikan tembak menembak, atau “cease fire”, penyelesaian permasalahan Indonesia-Belanda saat itu lebih banyak dilakukan dengan perundingan-perundingan yang intensif yang sering diadakan antara di Jakarta dan di Yogyakarta. Di Indonesia saat itu dibentuk delegasi-delegasi diplomasi politik tingkat tinggi, maka ada suatu badan pemerintahan yang merupakan delegasi tekhnis bekerja sama dengan berbagai pihak mengenai urusan perekonomian, tawanan, atau tahanan perang, dan lain-lainnya yang dikoordinasikan oleh Departemen Sosial. Saat itu Hoegeng mendapat tugas ke Jakarta untuk mencari informasi mengenai situasi di Jakarta, maka di Jakarta ia bertemu dengan Pak Soemarto, Wakil Kepala Kepolisian Negara, rupanya Soemarto adalah anggota delegasi Indonesia yang mengepalai bagian sosial, ia juga pernah menjadi atasan Hoegeng ketika bertugas di Semarang. Kemudian Hoegeng ditawari oleh Pak Soemarto untuk bekerja bersamanya di bagian sosial, namun tawaran tersebut sementara belum ditanggapinya mengingat ia juga masih tugas belajar di Akademi Kepolisian Mertoyudan, takut-takut kalau belajarnya tidak terbengkalai. Tetapi setelah pulang ke Yogya ia mengetahui bahwa akibat dari situasi kota Yogya yang tak menentu sebab periode gencatan senjata seusai Agresi Militer Belanda I Akademi Kepolisian juga vacum. Dia pun kembali ke Jakarta setelah mendapat ijin dari R.S Soekanto dan langsung bekerja di bawah pak Soemarto sejak November 1947.
      Bekerja sebagai anggota delegasi Indonesia Bagian Sosial yang dikepalai Soemarto saat itu ditekankan pada monitoring dan membantu meringankan nasib para pejuang Indonesia yang ditahan oleh pihak Belanda. Mengusahakan bantuan-bantuan lalu menyalurkannya bagi mereka. Hoegeng juga bertugas sebagai perwira penghubung antara jawatan Kepolisian RI dengan angkatan-angkatan lainnya.
      Ketika Akademi Kepolisian dibuka kembali maka Hoegeng meneruskan kuliahnya, bahkan ikut dalam organisasi intra mahasiswa. Sebagai mahasiswa tugas belajar dia juga bekerja sebagai anggota dinas kepolisian yang aktif.



BAB V
IKUT MENUMPAS KUDETA PKI – MUSO

      Sementara itu perkembangan selanjutnya yang meliputi kota Yogya dan kehidupan politik di Indonesia umumnya adalah berkembangnya rasa tidak puas terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintah. Kabinet Syahrir yang ketiga jatuh pada tanggal 3 Juli 1947. Maka Presiden Soekarno menunjuk Mr.Amir Syarifuddin sebagai Perdana Menteri.
      Tanggal 2 Desember 1947 muncul USS Renville (di Teluk Jakarta) tempat dilakukannya perundingan Indonesia dan Belanda, yang membuahkan Perjanjian Renville yang ditandatangani pada tanggal 17 Januari 1948, namun luas wilayah Indonesia pada Perjanjian Remville ini lebih kecil dibanding pada Perjanjian Linggarjati yang ditandatangani PM Schermerhorn dan PM Sutan Syahrir, sementara Perjanjian Renville ini ditandatangani oleh Mr.Abdulkadir Wirjosanjoyo dengan PM Amir Syarifuddin. Jadi setelah lama merdeka rupanya posisi Indonesia lebih lemah daripada sebelumnya, sedangkan posisi Belanda semakin kuat. Rasa puas terhadap kebijaksanaan pemerintah semakin meluas, Kabinet Amir Syarifuddin jatuh pada tanggal 23 Januari 1948, dan digantikan Kabinet Presidentil Hatta.
      Oposisi terhadap pemerintah semakin tajam, perkembangan situasi benar-benar buruk, kekuatan politik kita bukan hanya mengandung banyak perbedaan pandangan dan pendirian, melainkan perselisihan dan pertentangan. Kelompok Partai Sosialis akhirnya pecah menjadi dua yaitu PSI Syahrir dan FDR. FDR dapat dikatakan sebagai koalisi kelompok kiri radikal, seperti kelompok PKI Muso, Pesindo Amir Syarifuddin. Sebagai tambahan informasi bahwa Presiden Soekarno juga tidak akur dengan pikiran-pikiran PSI ini, demikian juga Soedirman yang saat itu merupakan pimpinan TNI, disebutkan bahwa dia tidak setuju dengan kebijakan pemerintah yang berunding dengan Belanda, karena dianggap meremehkan tentara pimpinan Soedirman, karena itu Soedirman juga menolak untuk tunduk pada kontrol pemerintahan Amir Syarifuddin. Pesindo yang dibentuk oleh Amir Syarifuddin ini juga dikatakan sebagai organisasi yang berjuang di bidang militer yang merupakan pasukan bersenjata golongan kiri.
      Pada tanggal 18 September 1948 terjadilah peristiwa Madiun yang melibatkan FDR, didorong militansi dan kurang perhitungan PKI-Muso yang ingin melakukan kudeta terhadap pemerintah RI. Selain Divisi Siliwangi dibawah Kolonel Gatot Subroto, maka seluruh kekuatan anti komunis bergerak menghancurkan pengkhianatan PKI-Muso dan unsur-unsur FDR lainnya.
      Di Kepatihan diadakan rapat di jajaran kepolisian dibawah pimpinan Pak Soemarto untuk membahas perkembangan dan menentukan langkah-langkah yang akan diambil kepolisiian dalam penumpasan gerakan kudeta pihak komunis. Kepolisian RI memutuskan menggerakkan beberapa kompi Mobil Brigade Surabaya, Jawa Timur dan Jawa Tengah. Mahasiswa Akademi Kepolisian juga dilibatkan dalam penumpasan pasukan komunis, tugas mahasiswa Akademi Kepolisian adalah untuk meneliti apakah ada anggota kepolisian yang terbunuh disiksa pasukan komunis yang ganas-ganas, atau gugur dalam pertempuran, atau hilang/menghilang karena bergabung dengan para pemberontak. Jadi dapat dikatakan hampir semua kekuatan kepolisian di Jawa Timur dan Jawa Tengah dikerahkan, termasuk Hoegeng dan yang lainnya yang saat itu menjadi mahasiswa Akademi Kepolisian. Hasil penelitian mahasiswa mengatakan bahwa tidak ada anggota kepolisian yang terlibat dalam PKI-Muso, yang ada hanyalah anggota yang menjadi korban, atau yang hilang karena bersembunyi atau lari.


BAB VI
MAHASISWA PTIK

      Pada tanggal 27 Desember 1949 dilakukanlah Penyerahan Kedaulatan ke tangan Republik Indonesia, yang merupakan hasil Konperensi Meja Bundar (KMB) di denhaag. Dan Indonesia menjadi Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan Perdana Menteri Moehammad Natsir, dan dengan resmi diterima menjadi anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Maka Indonesia sepenuhnya mengurus dirinya sendiri. Pada saat itu Hoegeng dan keluarga pindah ke Jakarta.
       Di Jakarta Hoegeng masih berfungsi rangkap, Disatu pihak sebagai mahasiswa PTIK, dan di pihak lain sebagai polisi juga, namun kebanyakan ia bertugas sebagai polisi dibanding sebagai mahasiswa, sebab saat itu belum ada tempat kuliah PTIK di Jakarta. Sehari-hari Hoegeng diperbantukan pada bagian Lalu Lintas dan lain-lain di Markas Besar Angkatan Kepolisian, waktu itu Ia berpangkat Ajun Komisaris Polisi (AKP).
       Hoegeng adalah mahasiswa PTIK angkatan pertama, dengan demikian ia banyak terlibat langsung dalam proses pembentukan dan pemantapannya ditahun-tahun awal. Semula namanya Sekolah Polisi Negara Bagian Tinggi, diresmikan pembentukannya tanggal 17 Juli 1946 di Yogya, namun kuliah pertama dimulai 1 Juli 1946 di Mertoyudan, itu di zaman revolusi kemerdekaan, maka pendirian Perguruan Tinggi ini boleh dikatakan hanya bermodal pertama idealisme untuk mendapatkan tenaga-tenaga polisi Indonesia yang profesional dengan memiliki wawasan pengetahuan akademis yang cukup. Tenaga pengajar, gedung, sistem, dan lain-lainnya dibenahi sambil berjalan. Para mahasiswanya adalah polisi yang memiliki basis pendidikan untuk memasuki perguruan tinggi. Uniknya para mahasiswa angkatan pertama dilibatkan dalam pembenahan lembaga pendidikannya. Jadi ibarat seorang murid yang juga harus memikirkan pembangunan sekolahnya sendiri juga.
      Staf pengajar pertama yang dapat dikatakan sebagai peletak dasar PTIK adalah para Guru Besar dan dosen di Mertoyudan, antara lain Prof.Dr.Mr.Soepomo, Prof.Mr.Soenario Kolopaking, Prof.Mr.Djoko Soetono, Prof.Dr.Prijono, R.M Soekanto, Ki Hajar Dewantara, Gamino dan Broto Murdokusumo.
      Tanggal 9 Februari 1947 ditetapkan susunan Guru Besar yang diketuai Profesor Soepomo dan Soebarkah sebagai Sekretaris. Bulan Mei 1947 disahkan Peraturan Dasar (Statuta) Akademi Polisi dan dengan SK Kepala Kepolisian Negara diangkat Dewan Kurator. Ketua Dean Kurator adalah Sultan Hamengkubuwono IX, dengan anggota Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman, Jaksa Agung, Gubernur Jawa Tengah Mr.Wongsonegoro.
      Bulan September 1946 perguruan tinggi itu dipindahkan dari Mertoyudan ke Yogyakarta, semata-mata untuk mengatasi masalah akomodasi. Mulanya kuliah di kantor sekretariat di kepatihan, namun kemudian para mahasiswa dapat meminjam sekolah Katolik Tarakanita, berlokasi di kawasan Secodiningratan, Yogya. Para dosen dan Guru Besar dijemput mahasiswa dengan mobil atau sepeda motor yang disediakan.
      Sejak Agresi Militer Belanda I maka kuliah terhenti. Para mahasiswa yang sedang berlibur harus menjalankan dinas kepolisian, bahkan dalam membela kemerdekaan negara yang terancam dimanapun berada. Para mahasiswa juga ikut menumpas pasukan-pasukan komunis yang melakukan kudeta PKI-Muso di Madiun bulan September 1948.
      Di Jakarta para mahasiswa juga harus mencari gedung tempat mereka kuliah. Selama satu setengah bulan mereka memakai sebuah gedung sekolah di jalan Marsekal, Manggarai, akhirnya ditemukan gedung yang disebut kamp Adek, di jalan Tambak 2. Gedung tersebut semula adalah tempat penampungan orang Belanda yang akan dipulangkan ke negerinya, berhubung tak ada lagi Belanda gedung tersebut pun kosong, maka dipakai sebagai tempat kuliah sejak April 1950.
      Dalam rapat gabungan antara Dewan Kurator dengan Jawatan Kepolisian 4 Juli 1950 maka nama Kademi Polisi diganti menjadi Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK), Hoegeng sendiri ikut menciptakan lambang PTIK.
      Pada tahun 1952 Hoegeng diwisuda bersama limabelas orang lainnya yang merupakan alumni angkatan pertama PTIK yang berhak memakai gelar akademis doktorandus. Diantara mereka adalah Siswadji (terakhir Letjen Pol), Djoenarso, Mustafa (Mayjen), Moerhadi (Mayjen), Ostenrijk (Mayjen), Ratna Atmadja (Mayjen), Mr.Soebroto (Mayjen), sedangkan yang sudah almarhum adalah Bill Mardjaman, Wim Soemampouw, Katik Soeroso, dan Harsidik.



BAB VII
DARI KAMPUS KE SURABAYA

      Setamat PTIK, pada bulan November 1952, Hoegeng ditugaskan pada jawatan Kepolisian Propinsi Jawa Timur pimpinan Soekarno Djojonegoro di surabaya. Jabatannya Wakil Kepala Direktorat DPKN (Dinas Pengawas Keamanan Negara), sedangkan kepala DPKN nya sendiri adalah KP I (Komisaris Polisi Kelas I) Sarwo. Setelah beberapa bulan berhubung KP I Sarwo sakit maka Hoegeng diangkat menggantikannya menjadi kepala DPKN di Komdak Jawa Timur. Pimpinan Hoegeng Soekarno Djojonegoro memiliki kepribadian yang unik, ia suka memelihara ular tetapi tidak suka kebathinan, malah bersama perwira-perwira lain ia meresolusi pada Bung Karno agar RS Soekanto diganti sebab hanya asyik dengan kebathinan, setelah resolusi para perwira tinggi kepolisian itu diterima, terhitung mulai tanggal 15 Desember 1959 Soekarno Djojonegoro diangkat menjadi Kepala Kepolisian Negara, kemudian disebut Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian (Men Pangak), menggantikan RS Soekanto.
      Dari surabaya Hoegeng ditarik menjadi Kepala Reskrim Komisariat Kepolisian Metro Jakarta Raya, tetapi belum sempat dilantik ia ditarik ke Mabak dan naik kedudukan, tapi ia tidak diberi kerja gara-gara diisukan orang “anggota PSI”.



BAB VIII
JUDI, SMOKEL, DAN KORUPSI

      Setelah dari Mabak, Hoegeng diangkat menjadi Kadit Reskrim Kepolisian Sumatra Utara. Organisasi Bagian Reskrim Kepolisian Sumatra Utara meliputi bagian Umum dengan 15 personil yang menangani kejahatan biasa, Reserse Ekonomi dengan 15 personil yang menangani kejahatan Ekonomi, Resmob (Reserse Mobil) 25 personil dan Daktiloskopi 5 personil. Kendaraan 10 Jeep, tiga pick up, empat sepeda motor, lima motor boat, dilengkapi dengan tenda-tenda. Sedangkan persenjataannya terdiri dari pistol dan senjata berat.
      Kegiatan Smokel (penyelundupan) sebenarnya bersifat latent, berlangsung antara wilayah timur pulau sumatra terutama sepanjang Selat Malaka dengan Singapura atau Penang. Dari sumatera utara diselundupkan minyak nilam dan karet ke singapura, sedangkan dari singapura diselundupkan barang-barang mewah seperti pesawat radio, tape rekorder, arloji, dan lain-lain. Kegiatan penyelundupan biasanya dilakukan oleh orang China dan dalam kasus-kasus tertentu dengan backing oknum ABRI tertentu, antara lain juga dari kepolisian.
      Kegiatan perjudian umumnya dimodali dan diselenggarakan tauke-tauke China namun dilindungi (dibacking) oleh oknum-oknum ABRI tertentu. Hal serupa juga terjadi dalam usaha-usaha pelacuran! Adalah kenyataan, bahwa apabila ada pelaku smokel dan perjudian tertangkap, maka usut punya usut dibelakangnya selalu bermain modal dan tauke China. Selama bertugas di medan banyak kasus-kasus korupsi, smokel, perjudian yang diselesaikan oleh Hoegeng. Setelah dari Medan kemudian Hoegeng dipindahkan ke Komisariat Kepolisian Jakarta Raya memimpin Direktorat Reskrim.




BAB IX
PANGGILAN NASUTION

      Suatu hari di bulan Januari 1960 Hoegeng dipanggil Menko Keamanan Nasional/ Panglima Angkatan Bersenjata, Jenderal A.H Hasution, agar menghadap. Kantornya di jalan Merdeka Barat, kepadanya ditanyakan apakah bersedia ditempatkan menjadi Kepala Jawatan Imigrasi. Kemudian Hoegeng menjawab bahwa ia bersedia ditempatkan dimana saja. Belakangan diketahui bahwa di tubuh jawatan imigrasi saai itu tidak sehat suasana kerjanya dan dibutuhkan seorang pimpinan yang tegas, dan berkat usulan dari orang imigrasi nama Hoegeng diusulkan.
      Tanggal 19 Januari 1961 Hoegeng diangkat menjadi Kepala Jawatan Imigrasi Indonesia oleh Menko Nasution. Jawatan imigrasi merupakan unsur Departemen Kehakiman, namun dalam hal-hal menyangkut security nasional dibawah Hankam.
      Dalam masa jabatannya tidak sedikit hambatan yang dihadapi dalam membenahi Jawatan Imigrasi. Dengan tangan kanan Wadigda SH, dapatlah ditanamkan secara perlahan lahan saling pengertian yang lebih baik antara orang-orang imigrasi sendiri. Selama menjabat sebagai Kepala Jawatan Imigrasi Hoegeng sendiri tetap mengenakan seragam kepolisian, karena ia hanya menerima gaji sebagai polisi, dia tidak memperoleh dan tak mengambil gaji dan fasilitas dari Kantor Imigrasi. Kemudian setelah menganggap Kantor Imigrasi sudah baik maka pada bulan Juni 1965 dia mengundurkan diri dari Jawatan Imigrasi yang kemudian Kepala Jawatan Imigrasi diangkatlah Widigda Sudigman SH, yakni orang imigrasi sendiri.
      Pada suatu hatri di bulan Juni 1965 Hoegeng mendapat telepon dari salah seorang pembantu Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang saat itu menjabat Menteri, isinya agar ia diminta datang ke rumah Sultan di Yogyakarta. Dalam pembicaraan dengan Sri Sultan Hamengkubuwono IX diperoleh informasi bahwa Hoegeng akan diangkat menjadi Menteri Iuran Negara. Dan memang benar pada tanggal 19 Juni 1965 Bung Karno melantik “Kabinet Seratus Menteri” dimana Hoegeng menjadi Menteri Iuran Negara. Kemudian pada Kabinet Dwikora Hoegeng kembali menjabat sebagai Menteri Sekretaris Kabinet Inti.


BAB X
KEMBALI KE KEPOLISIAN

      Pada bulan Juni 1966 ada telepon dari Men Pangak Jenderal Pol. Sutjipto Joedodiharjo, intinya Men Pangak mengatakan bahwa ia membutuhkan orang-orang seperti Hoegeng sebagai tangan kanannya dan menawarkan kepada Hoegeng apakah mau kembali ke Jawatan kepolisian. Setelah itu Sutjipto menghadap Bung Karno dan meminta Hoegeng agar ditugaskan kembali di Jawatan Kepolisian sebagai Deputy Men Pangak Bagian Operasi. Maka atas ijin dari Bung Karno Hoegeng setuju untuk kembali ke jawatan kepolisian. Tiga hari kemudian ia dipanggil Pak Harto yang saat itu menjabat sebagai Menko Hankam disamping Ketua Presidium Kabinet, Soeharto membriefingnya dalam kaitan dengan tugas-tugas pemulihan keamanan dan ketertiban, berhubung Hoegeng akan diangkat sebagai Deputy Men Pangak maka Pak Harto meminta agar Hoegeng melanjutkan pembersihan orang-orang PKI di dalam tubuh kepolisian Indonesia. Tiga hari kemudian tanggal 3 Agustus 1966, keluar SK Presiden yang memberhentikan Hoegeng dari jabatan Sekretaris Kabinet Inti dan mengangkatnya sebagai Deputy Menteri Muda Panglima Angkatan Kepolisian Urusan Operasi.
      Tanggal 1 Mei 1968 Hoegeng dinaikkan pangkatnya menjadi Komisaris Jenderal Polisi, berbintang tiga. Dua minggu kemudian berhubung Men Pangak Soetjipto mengundurkan diri maka di Mabak Kebayoran Baru, tanggal 15 Mei 1968 Hoegeng dilantik menjadi Panglima Angkatan Kepolisian RI dengan Inspektur Upacara Jenderal Soeharto, sedangkan Wakil Men Pangak adalah Tengku Azis.
      Strategi kepolisian Indonesia tercermin dari briefing dan dialog Pj.Presiden Soeharto di cendana kepada Hoegeng dan Tengku Azis sebelum mereka memangku jabatan Kapolri dan Wakapolri. Pertama-tama adalah bahwa kepolisian Indonesia kembali ke fungsi pokok kepolisian, tidak mencampuri urusan angkatan lain di jajaran ABRI, tetapi saat itu Hoegeng juga meminta agar angkatan lain tidak mencampuri urusan kepolisian. Hal tersebut juga ditegaskan statement Pj. Presiden Soeharto dalam pidato Kenegaraan pada peringatan Hari Bhayangkara 1 Juli 1968 sebagai statemen politik pemerintah kepada masyarakat Indonesia bahwa “Polri kembali kepada fungsinya”. Berkaitan dengan hal tersebut inilah statemen Hoegeng selaku Kapolri dalam pidato Hari Bhayangkara yang sama lewat TVRI, antara lain bahwa : “Kembali kepada fungsinya sendiri seperti yang telah diserukan oleh Presiden dalam tahap pembangunan sekarang memang pada hakekatnya menjadi kehendak waktu, oleh karena dengan memenuhi tugas sesuai fungsinya masing-masing, secara langsung sudah menciptakan suasana yang favourable bagi pembangunan. Favourable karena masing-masing aparatur yang telah sadar akan tugas dan kewajibannya sesuai dengan fungsi dan wewenang sendiri-sendiri tanpa mencampuri urusan aparatur-aparatur lain, baik dalam tugas, organisasi, status maupun soal-soal intern lainnya mengakibatkan tidak adanya kesimpangsiuran di dalam prosedur penyelenggaraan. Kembali kepada fungsi sendiri bagi AKRI harus ditafsirkan agar kepada AKRI diberikan kesempatan sepenuhnya untuk menjalankan apa yang mutlak wajib dilaksanakan sebagai penegak hukum dan inti penyelenggaraan Kamtibmas, untuk mana baginya perlu peningkatan kemampuan dalam bidang pengusutan perkara-perkara dan pemberian public service polisionil.....”
      Strategib tersebut diperkuat dengan hal-hal kecil tetapi amat berarti seperti :
Pertama, istilah Angkatan Kepolisian Republik Indonesia (AKRI) diganti dengan Kepolisian Republik Indonesia (Polri).
Kedua, istilah Menteri/Panglima Angkatan Kepolisian Republik Indonesia diganti dengan Kepala Kepolisian RI (Kapolri).
      Hanya saja Polri masih berada di lingkungan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, di bawah Menhankam.
      Dunia kepolisian pada waktu dipimpin oleh Hoegeng saat itu mengalami kekurangan fasilitas sebagaimana juga kondisi-kondisi pemerintahan lainnya yang baru saja keluar dari suasana pemerintahan Orde Lama dimana kondisi perekonomian saat itu sangat buruk. Langkah-langkah pokok yang diambil Hoegeng pada saat menjadi Kapolri adalah menegakkan kembali citra polisi di tengah masyarakat Indonesia, sehingga masyarakat simpati kepadanya.


BAB XI
KECINTAAN TERHADAP TUGAS
                                         
      Berada di pucuk pimpinan kepolisian, dengan sendirinya membuat Hoegeng semakin menginsafi hakikat dan tanggung jawab seorang polisi.
      Pagi-pagi benar ia sudah meninggalkan rumah, ia sudah berada di kantor di Markas Besar Angkatan Kepolisian (Mabak) Jalan Trunajaya 3-Kebayoran Baru, sebelum pukul 07.00, biasanya ia lebih dulu masuk kantor daripada staf dan bawahannya. Dia pulang dari kantor lebih lambat, biasanya setelah lewat pukul 14.00, ketika umumnya yang lain sudah meninggalkan kantor, ia tidak segan-segan untuk turun langsung ke jalanan mengatur Lalu Lintas dengan memakai seragam dinas Kapolri, karena ia sadar betul bahwa pada dasarnya seorang polisi adalah pelayan masyarakat untuk menegakkan ketertiban dan keamanan umum setiap saat, dimanapun ia berada.
      Dia memiliki persepsi tentang kehormatan, kewajiban, dan tanggung jawab sebagai polisi untuk menghadirkan rasa tenteram dalam diri masyarakat dengan hadirnya polisi ditengah-tengah masyarakat. Dengan berpegang pada hal tersebut ia memulai menegakkan citra ideal seorang polisi dari dirinya sendiri, dimana ia menampilkan citra seorang komandan polisi yang baik. Sebagai komandan polisi di Indonesia saat itu Hoegeng termasuk salah seorang VIP yang tumahnya berhak mendapatkan pengamanan khusus dan pengawal, namun ia menolaknya. Ia berpikiran penting untuk menimbulkan kesan bahwa rumah seorang polisi seperti dirinya adalah tempat mengadu masyarakat, dia tak ingin rumahnya tampak angker, atau membuat risi (segan) orang yang ingin datang. Demikianlah kesederhanaan dari seorang Hoegeng.



BAB XII
PENUTUP

      Sepucuk surat dinas diterima Hoegeng di meja kerjanya, isinya suatu pemberitaan yang ganjil, yaitu agar Hoegeng tidak “berkecil hati” atas penujukannya sebagai Duta Besar di salah satu negara penting di Eropa barat, yaitu kerajaan Belgia. Ganjil sebab masa jabatannya sebagai Kapolri belumlah habis.
      Benar juga, Adam Malik, Menteri Luar Negeri RI saat itu yang beberapa hari sebelumnya meneleponnya dan meminta waktu untuk ngomong-ngomong. Dalam pembicaraan dengan Adam Malik diketahui bahwa ia dipanggil oleh Menhankam Jenderal M.Panggabean yang mengusulkan Hoegeng menjadi Duta Besar. Kemudian selanjutnya Hoegeng menemui Menhankam Jenderal M. Panggabean di rumahnya di jalan Teuku Umar. Sepantasnya memang Hoegeng meminta penjelasan tentang tawaran jabatan baru yang dipercayakan Presiden kepada dirinya.
      Dari Panggabean dia mendapat keterangan, bahwa tawaran menjadi Dubes diajukan karena kedudukannya sebagai Kapolri akan ditempati orang lain, tetapi tidak dijelaskan kenapa dia harus diganti yang lain sementara masa jabatannya belum habis. Maka kepada Menhankam Panggabean Hoegeng menolak untuk menjadi Dubes dan bersedia ditugaskan dimana saja di dalam negeri, namun jawaban dari Panggabean bahwa di dalam negeri sudah tidak ada lagi pos untuk Jenderal berbintang empat, yang kemudian dijawab oleh Hoegeng apabila memang tidak ada lagi jabatan buat dirinya di dalam negeri maka ia memilih untuk keluar saja. Pendirian yang sama juga dikemukakan oleh Hoegeng ketika ia dipanggil oleh Presiden Soeharto berkenaan dengan pengusulan dirinya menjadi Duta Besar, secara tegas ia menolaknya.
      Proses selanjutnya adalah timbang terima jabatan di Markas Besar Kepolisian (Mabak), Jalan Truojoyo 3, Kebayoran Baru, dengan Inspektur Upacara Presiden Soeharto dari Jenderal Pol Hoegeng Iman Santoso kepada Jenderal Pol M.Hasan. Semua barang-barang inventaris Mabak dikembalikannya ke Mabak, kecuali rumah. Jadi mulai dari walkie talkie, peralatan radio, mobil, dan sebagainya diserahkannya.
      Selepas dari jabatan Kapolri perlu diketahui bahwa Pak Hoegeng tidak mempunyai apa-apa. Hoegeng Iman Santoso merupakan seorang polisi yang ideal dan jujur yang patut dicontoh oleh generasi polisi sekarang ini.
      Sebagai penutup saya sampaikan penghormatan yang sebesar-besarnya dengan setulus hati kepada alm Hoegeng Iman Santoso, semoga apa yang telah ditorehkannya kepada institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat dijadikan suri tauladan dan sesuatu yang sangat berharga bagi kita semua generasi penerus Polri, semoga Tuhan Yang maha Esa menerima segala amal kebaikannya dan arwahnya diterima di sisinya.

dikutip dari : blog Faruk Oktora