Jumat, 03 Februari 2012

Pemahaman Perjalanan Sejarah Kepolisian Negara RI

       Pemahaman terhadap suatu sejarah adalah pertama – tama untuk mempelajari dasar – dasar berbagai pra anggapan untuk dapat mengetahui perbedaan – perbedaan dan persamaan yang terdapat dalam berbagai sumber sejarah. Yang kemudian menjelaskan makna, karena banyak di ungkapkan dalam berbagai bahasa dan cerita, maka diperlukan interpretasi atas bahasa atau teks maupun ceritera. Karena ada ceritera yang di tulis berupa teks dan disampaikan secara lisan ( rerasan ). Sehingga dalam ilmu sejarah dikenal adanya sejarah tertulis dan sejarah lisan, disamping itu mengenai tindakan orang ( pelaku sejarah ), yang dipahami melalui pemahaman ( verstehen ).
     Salah satu teori sejarah adalah hermeneutika, yang mencoba memberi dan menjelaskan  makna dan suatu peristiwa ( bersejarah ). Karena masa lampau penuh dengan ungkapan – ungkapan ide – ide yang terkadang asing bagi kita. Ada 4 fase dalam proses verstehen, yaitu :
1.  Interpretasi Pragmatis
yaitu mempelajari sumber sejarah dan menentukan apa yang terjadi ( Peristiwa ).
2.  Interpretasi Prasarat ( lingkungan geografis, teknis, material ).
3.  Interpretasi Psikologis ( motif atau  pelaku ).
4.  Interpretasi Ide – ide ( mencari hubungan antara Zeitgeist dengan tindakan yang dipelajari ).
Dalam mempelajari dan kemudian memahami pengalaman sejarah kepolisian baik yang berupa teks maupun lisan, jelas perjalanan sejarah kepolisian di Indonesia melewati beberapa era yang memiliki perbedaan dalam sikap dan sifat yang dibawakan setiap era. Empat fase tersebut dapat mencakup suatu ide – idenya sehingga merupakan kebulatan tekad sejarah yang bersifat holistik.
Pada era perang kemerdekaan, yang disebut pula sebagai era perjuangan fisik dan era revolusi itu, telah memberikan penafsiran yang berbeda dari sudut disiplin ilmu maupun proses verstehen, walaupun dalam waktu dan masa yang sama dan bersamaan, namun berbeda dalam lokasi peristiwa. Pada masa tersebut penuh dengan ide dan semangat perjuangan yang sebelumnya belum pernah mengalaminya ( sehingga disebut sebagai masa revolusi , jaman yang mengalami perubahan secara radikal, jaman perjuangan, perang kemerdekaan ).
Sebagai alat negara pada umumnya, khususnya kepolisian tidak dapat melepaskan begitu saja lingkungan birokrasi, karena kegiatan kepolisian suatu negara dalam kesejarahannya sejak mula pertama keberadaannya yang merupakan kin police yang disepakati oleh warga berkembang menjadi rule appointed police yang ditetapkan oleh pemerintah / penguasa. Pengembangan ide polisi modern di kenal sejak Robert Peel, polisi dan Inggris ( 1829 ), diikuti oleh Amerika Serikat pada tahun 1844, walaupun di Inggris sendiri established baru tahun 1870. Pengembangan POLRI secara organisatoris telah ditetapkan tahun 1945 tetapi baru memperoleh identitasnya sebagai organisasi yang meliputi seluruh wilayah negara, bersifat nasional dan memilliki kemandirian baru pada pertengahan 1946 ( 1 Juli ) dengan ciri – ciri untuk kepentingan pelayanan masyarakat telah memperoleh wewenang operasional dari tingkat pusat sampai ke daerah. Disamping itu upaya merubah sifat dan sikap sebelumnya yang dilekati watak sebagai polisi di era penjajahan kemudian mencari sikap dan nilai – nilai yang dapat tercermin pada etika kepolisian, merupakan jati diri Polri dan suatu negara yang berdaulat terus diupayakan.
Dalam situasi yang berpengaruh besar terhadap tugas – tugas dan peran profesi kepolisian, dikembangkan selama perjuangan kemerdekaan, berusaha tetap berpegang pada nilai – nilai sebagai pelayanan dan pelindung yang wajib dimilikinya. Sehingga dalam kesejarahan pada pelbagai perubahan, Polri sampai sekarang masih tetap memiliki ciri tersebut.
Pencarian pedoman hidup yang mewarnai watak kepolisian terus di upayakan hingga dapat ditemukan etika kepolisian yang sesuai dengan watak kepolisian Indonesia pada tahun 1945. dengan diberlakukannya TRI BRATA sebagai etika Polri yang kemudian dirumuskan ke dalam Kode Etik, pelayan dan pelindung masyarakat serta sebagai kesatuan yang bersenjata yang dapat dibedakan dengan angkatan perang. 
Dengan kesadaran tersebut POLRI tetap mempertahankan cirinya bahwa Tri Brata tidak dapat diganti dengan etika kesatuan dan instansi lain walaupun pernah menjadi satu badan, tetapi di bedakan dengan angkatan perang / TNI yang militer ( Saptamarga ) dan Polisi.
Untuk membedakan secara fisik pada tahun 1970 – an dibedakan insignie pada militer dengan monogram “ TNI “ dan Polri “ POL “, yang dikenakan pada leher baju pakaian seraga. Telah memberikan gambaran bahwa para pejabat Polri pada waktu itu yang berperan dalam pengambilan kebijakan dalam integrasi dengan angkatan perang, masih tetap menyadari bahwa jati diri dan peran antara angkatan perang / TNI dan Polri adalah berbeda.

Gambaran model sinkronis dan diakronis disertai pemaknaan peristiwa ( hermeneutika ) dapat memberikan contoh konkrit dan uraian tersebut bahwa Polri yang ingin meningkatkan profesionalisme adalah dengan membenahi organisasinya sesuai dengan visi dan misi Polri meliputi instrumentasinya, struktur dan kulturnya. Memiliki kode etik dan setia kepada profesinya, memiliki otonomi, memiliki profesi sebagai panggilan jiwa, bangga dan mulia, dedikasi tinggi dalam pelayanan. Kesemuanya merupakan karakteristik Polri sejak upaya – upaya kemandirian pada tahun 1946 hingga sekarang, sampai dipertegas dengan di keluarkannya Ketetapan MPR nomor VI dan VII tahun 2000. Menunjukkan bahwa dalam sejarahnya Polri tetap konsisten dalam memegang teguh jati dirinya, walaupun dengan jalan yang penuh rintangan, halangan, gangguan dan hambatan.