MERAH PUTIH BERKIBAR
DI JL. COEN BOULEVARD NO.17 SURABAYA
K
D
|
i Surabaya, Surat Kabar
“SUARA ASIA”
tanggal 20 Agustus 1945 tanpa mengindahkan berita bantahan yang disiarkan
Kempetai dari Jakarta telah memuat secara lengkap berita Proklamasi Kemerdekaan
Indonesia, Undang –
Undang Dasar 1945 dan peraturan lainnya. Berita tersebut disambut rakyat
Surabaya dengan tekad untuk mempertahankannya.
Seorang Agen Polisi bernama Nainggolan di depan markasnya Jl. Coen Boulevard No. 7 (kini Jl. Dr.
Sutomo) Surabaya menurunkan bendera Jepang Hinomaru dan menaikkan Sang Merah
Putih. Seorang opsir Jepang yang
melihatnya segera mendatangi Nainggolan dan menempelengnya sambil memerintahkan
agar menurunkan Sang Merah Putih dan menaikkan kembali Hinomaru. Namun ketika
opsir Jepang berlalu, Nainggolan bahkan kini bersama – sama kawannya, menurunkan lagi Hinomaru
dan menaikkan lagi kembali Sang Merah Putih, kemudian melilitkan kawat berduri
pada tiang bendera tersebut.
Pada malam harinya, Inspektur
Polisi Mohammad Yasin (Komandan Syu Keisatsutai) mengadakan pertemuan
rahasia dengan seluruh stafnya. Dalam pertemuan diputuskan untuk membongkar
gudang senjata pada malam itu juga dan untuk selanjutnya mengucilkan pimpinan
polisi yang berbangsa Jepang.
Untuk mendukung kebulatan tekad rakyat Surabaya mempertahankan
Proklamasi, maka pada tanggal 21 Agustus 1945, Inspektur Polisi M. Yasin atas nama seluruh warga Polisi
mengeluarkan pernyataan bahwa sejak saat itu polisi adalah Polisi Republik
Indonesia. Pernyataan yang hanya diketik itu disebar luaskan dan ditempel di
tempat – tempat ramai. Bukti pernyataan
adalah sebagai berikut :
Proklamasi
Oentoek
bersatoe dengan rakyat dalam perjoengan mempertahankan Proklamasi 17 Agoestoes
1945, dengan ini menjatakan Poelisi sebagai Poelisi Repoeblik Indonesia.
Soerabaja,
21 Agoestoes 1945.
ttd
Moehammad Jasin
Inspektoer Poelisi Tk. I
Moehammad Jasin
Inspektoer Poelisi Tk. I
Sidokan Takata dan Fukuda Sidokan Nishimoto yang menjabat pimpinan Polisi, sejak saat
itu dikucilkan. Semua anggota Polisi Istimewa diperintahkan untuk tidak
menyerahkan senjatanya kepada siapapun.
Hari
berikutnya, IP. I. M. Yasin menerima
lima orang pemuda yang mengatas namakan dirinya sebagai utusan dari Pemuda
Dinoyo yang menyatakan dukungannya atas tindakan yang diambil Polisi Istimewa.
Sikap
Polisi Istimewa ternyata merupakan faktor pendorong bagi unsur – unsur militan masyarakat terutama para
ex. PETA, HEIHO, SEINENDAN, KEIBODAN dan lain –
lainnya, walaupun pada saat itu, PETA dan HEIHO telah dibubarkan dan
dikembalikan ke tempat masing –
masing, sedang senjatanya digudangkan oleh Jepang.
Kesaksian dari para pejuang Jawa Timur terhadap kenyataan
sejarah ini adalah :
Bung Tomo :
Soal senjata nampaknya agak menggelisahkan karena sebagai anak buah Tentara Pembela
Tanah Air (PETA) yang semula menjadi harapan rakyat banyak, ternyata sudah dikirim
pulang oleh Jepang tanpa senjata. Satu –
satunya kekuatan bersenjata yang masih kokoh adalah Pasukan Istimewa yang
dipimpin oleh seorang pemuda Sulawesi Muhammad Yasin.
Dr. Roeslan Abdulgani : Pasukan Polisi Istimewa lahir lebih dulu
dari yang lain.
Brigjen. TNI/AD Sudarto :
Omong kosong jika ada yang mengaku dalam bulan Agustus 1945 yang memiliki pasukan bersenjata, yang ada hanya
pasukan Polisi Istimewa dan tanpa pasukan ini tidak akan ada Hari Pahlawan 10
Nopember 1945.
Abdul Kadir Besar S.H :
May. Jen. Pol. M. Yasin di tahun 1945 dengan peranan juangnya wajar diberikan
kedudukan Singa Pejuang RI.
May. Jen. TNI/ AD
Sungkono :
Yasin
memproklamirkan Polisi Istimewa sebagai Polisi Republik Indonesia tanggal 21
Agustus 1945.
Mr Van der Wal dalam Brosur resmi
departemen van onderwijs en Wetenschapen dari Pemerintah Nederland tentang
hubungan antara Netherland –
Indonesia tahun 1945 –
1950 menulis : Sejak awal September 1945, Polisi menyatakan diri milik RI.
Polisi Istimewa pimpinan M. Yasin
tidak lain adalah satu militaire – strijdkracht
(kekuatan tempur militer).
Sebagai tanda bahwa mereka adalah polisi RI ialah dengan
mengenakan ban putih di lengan sebelah kiri yang bertuliskan huruf P.I berwarna
merah, sedang pada tutup kepala digunakan meerah putih yang berbentuk bulat
telur.
Peristiwa lain sebelumnya yaitu yang terjadi pada tanggal 19 Agustus
1945 ialah adanya perintah dari pimpinan polisi Jepang di kantor polisi kota
Surabaya, agar semua senjata yang ada pada seksi –
seksi polisi harus segera dikumpulkan di gudang Hopbiro, sedang peluru – pelurunya agar disimpan di gudang bawah
tanah Benteng – Miring.
Ketika Jepang sedang mencopoti slagpen senjata – senjata otomatis terlihat oleh Agen Polisi Eman. Sebagai anggota
bagian persenjataan, Eman mengetahui
bahwa tanpa slagpen maka senjata –
senjata tersebut tidak akan ada gunanya lagi, karena itu ia segera melapor
kepada atasannya Komandan Polisi (Kdp)
Prawiro.
Adanya laporan tersebut, Kdp.
Prawiro segera bertindak dengan memerintahkan Ap. I. Sukardi agar bersama anak buahnya dengan bersenjata lengkap
menutup pintu kantor Hopbiro. Kepada Kdp.
Paiman dan Ap. Eman diperintahkan
untuk menemui Jepang yang mencopoti slagpen dan memintanya kembali. Semula si
Jepang tidak mau menyerahkannya, tetapi setelah diminta dengan nada keras, baru
ia bersedia menyerahkannya kembali.
disadur dari : Buku Lintasan
Perjalanan Kepolisian RI Sejak Proklamasi –1950