Anton Soedjarwo lahir di kota Bandung pada tanggal 21 September 1930. Lahir dari pasangan keluarga Akhadiat Rekso Atmodjo dan Sumiati. Ayahnya pegawai Kantor Pos dan Telepon ( PTT ) Bandung. Sedang ibunya sebagai ibu rumah tangga biasa yang senantiasa mendampingi suaminya berpindah – pindah tugas.
Nama Soedjarwo ketika itu diberi oleh Raden Mas Sorso Kartono, kakak kandung Raden Ajeng Kartini, yang mempunyai keahlian dan kemampuan mengobati orang sakit dengan air putih. Waktu itu bayi yang kelak diberi nama Soedjarwo dibawa ke rumah Raden Mas Sosro Kartono, kemudian bayi itu diusap telapak tangannya dan diberi nama Soedjarwo.
Usia tujuh tahun, ayahnya meninggal dunia kemudian oleh ibunya dibawa ke Cilacap menetap di rumah kakeknya. Menginjak umur delapan tahun Soedjarwo disekolahkan ke Holland Indische School ( HIS ) di Cilacap tahun 1938, masih duduk di kelas satu HIS ibunya pindah ke Jember mengikuti kakaknya , sedangkan Soedjarwo tinggal bersama kakeknya. Baru setelah naik kelas dua ibunya dan diteruskan di HIS kota Jember. Ketika Soedjarwo duduk di kelas lima HIS Jember, ibunya pindah lagi ke Cilacap sementara Soedjarwo di titipkan kepada kakak ibunya bernama Soekardjo di Purwokerto dan melanjutkan HIS di Purwokerto dan melanjutkan HIS Purwokerto dengan biaya ibunya sampai selesai. Setelah menamatkan HIS, Soedjarwo masuk sekolah pertanian Purwokerto, karena senang dengan tanaman dan hewan besar.
Masa Perjuangan
Pada saat Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada tanggal 17 Agustus 1945, Soedjarwo masih duduk di kelas satu Sekolah Menengah Pertanian di Purwokerto. Sebagai mana diketahui bahwa pada zaman itu tumbuh badan – badan perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan. Tidak terkecuali pemuda Soedjarwo terpanggil memasuki badan perjuangan dan menggabungkan diri dengan Tentara Pelajar. Basis perjuangannya mempertahankan wilayah Banjarnegara, Purwokerto dan Banyumas melalui taktik perang gerilya melawan tentara Belanda.
Dalam perjuangan melawan tentara Belanda melalui taktik perang gerilya, masing – masing anggota Tentara Pelajar menggunakan nama samaran. Julukan nama samaran oleh kawan – kawannya sendiri sesuai dengan kebiasaan sehari – hari dan sifat dari seseorang. Oleh karena postur, tubuh Soedjarwo tinggi besar seperti orang Belanda maka oleh teman – teman seperjuangannya diberi nama julukan Anton. Sejak itulah nama Anton melekat sampai sekarang dan menjadi nama Anton Soedjarwo.
Setelah terjadi gencatan senjata ada peluang bagi anggota Tentara Pelajar untuk kembali melanjutkan sekolah yang sempat terhenti. Anton Soedjarwo yang semula mengikuti Sekolah Menengah Pertanian pindah ke Sekolah Menengah Pertama Peralihan di Purwokerto dan langsung masuk kelas tiga. Kemudian setelah lulus dari sekolah tersebut dan berbarengan dengan berakhirnya perang Kemerdekaan, maka ada peluang untuk melanjutkan Sekolah Menengah Atas ( SMA ) Negeri Magelang.
Selesai mengikuti pada Sekolah Menengah Atas Negeri Magelang ( September 1952 ), melanjutkan kuliah pada Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada ( UGM ). Namun, hanya sempat dua bulan karena memilih mengikuti pendidikan Inspektur Polisi di Sukabumi. Anton Soedjarwo dapat menyelesaikan sekolah Inspektur Polisi pada tanggal 11 September 1954 dengan pangkat Inspektur Polisi Tingkat Dua ( IPDA ). Kemudian mendapat perintah penempatan tugas pada Kantor Polisi Provinsi Sulawesi di Palopo dengan jabatan Kepala Polisi Wilayah Besar Palopo.
Membangun Rumah Tangga
Perkenalan pertama kali terjadi di Surabaya pada tahun 1961 di rumah ayah tirinya. Setelah itu kami tidak sering bertemu, karena pemuda Anton Soedjarwo bertugas di Jakarta dan saya sendiri mengajar di SMA Surabaya. Saya sendiri lahir di Lumajang tanggal 24 Oktober 1934 dengan nama Bintari. Orangtuaku sebagai Residen Madiun menyambut baik dengan keramah tamahan pemuda Anton Soedjarwo. Waktu itu saya masih status pelajar SMA di Malang. Waktu itu saya menjadi guru SMA di Surabaya mengajar mata pelajaran Bahasa Inggris.
Setelah menjalani pendidikan Infanteri di Fort Benning USA tahun 1962 selesai pendidikan pemuda Anton Soedjarwo dipanggil pulang ke Indonesia untuk ditempatkan di Pulau Gorom Irian Jaya. Pernikahan dilaksanakan di Madiun tahun 1963, waktu itu ia sebagai Komandan Batalyon 232 Ranger, kemudian tahun 1964 diangkat sebagai Komandan Resimen Pelopor Korps Brigade Mobil. Setelah nikah tidak langsung boyongan ke Jakarta karena harus mengurus administrasi kepindahan sebagai guru. Baru berkumpul pada bulan April 1964 hingga 1972 menempati asrama Pelopor Kelapa Dua Bogor yang berjejeran dengan anggota Resimen Pelopor.
Oleh karena itu setiap harinya berkumpul dengan isteri – isteri anggota Resimen Pelopor yang mempunyai latar belakang kebudayaan yang berbeda -- beda. Dengan demikian, bagi saya tidak sulit karena sebelumnya sebagai guru merupakan modal untuk membina isteri – isteri anggota Resimen Pelopor. Hal ini menjadi kebiasaan sehingga dalam kehidupan sehari – haripun senantiasa tidaklah menemui kesulitan – kesulitan untuk mendampingi tugas – tugas suami. Hanya setiap pada latihan – latihan bagi para anggota Pelopor selalu was – was dan cemas, terutama kalau ada latihan terjun payung.
Mengarungi rumah tangga berjalan 2 ( dua ) tahun, ia mulai cemas karena belum juga ada tanda – tanda kehamilan isterinya. Namun, ia tidak henti – hentinya berdoa dan tabah menanti kehadiran seorang anak , bahkan ia tidak menganjurkan periksa ke Dokter maupun konsultasi ke yang lainnya. Karena ia menganggap bahwa inilah Tuhan memberikan jalan terbaik, hanya dengan kenyakinan pasti Tuhan akan memberikan anak yang di dambakannya. Justru, kami sedang di uji ketabahan oleh Tuhan. Namun, demikian ia tetap sabar dan yakin suatu saat Tuhan akan memberikan kepercayaan kepada kami untuk mempunyai anak.
Setelah beerumah tangga berjalan enam tahun lahir seorang anak perempuan, tanggal 7 Agustus 1969 yang diberi nama Indriani, dua tahun kemudian lahir anak laki – laki kedua yang diberi nama Rudianto.
Mengarungi kehidupan sejak awal berumah tangga sampai meninggal ada beberapa sifat dan karakter yang menonjol pada dirinya, diantaranya mengenai bermasyarakat, berbangsa, wawasan lingkungan, spritual dan kekaryaan.
1. Kualitas Diri
Saya mengagumi bahwa ia cerdas , ada saja segala sesuatu permasalahan baik mengenai keluarga maupun masalah kedinasan selalu terpecahkan. Di samping itu daya kreatifitasnya tinggi. Watak atau kpribadian luwes tidak gampang menyerah dan tegas. Tantangan apapun bentuknya selalu dia hadapi, hanya di rumah tidak suka diatur. Dengan demikian ketahanan pribadinya selalu tegar, hal ini mungkin ditempa oleh kemauan dirinya semenjak kecil.
2. Kualitas Bermasyarakat
Kehidupan dalam bermasyarakat yang paling menonjol adalah kesetiakawanan disamping itu dermawan. Namun demikian, ia menghendaki adanya disiplin sosial di lingkungannya dan selalu memperhatikan keamanan dan ketertiban masyarakat. Disamping itu, ia selalu toleransi sesama teman atau dengan siapapun sehingga ia selalu terbuka. Bahkan setelah menjabat Kapolri pun selalu boleh siapa saja yang ingin ke rumahnya untuk silaturrahmi. Oleh karena itu, rumah pribadi kami dijadikan tempat berkumpul keluarga dan llingkungan sekitarnya.
3. Kualitas Berbangsa
Rasa kebangsaan tinggi dan selalu mempertahankan kesatuan dan persatuan. Salah satu contoh anak – anak kami yang ingin sekolah ke luar negeri selalu diberi wejangan tentang wawasan kebangsaannya. Hal ini, ia merasa khawatir apabila setelah menyelesaikan studinya di luar negeri takut tidak mau berbakti kepada bangsanya. Hal ini tercermin kepada siapapun keluarga Polri selalu menanamkan adanya disiplin nasional.
4. Kualitas Wawasan Lingkungan
Keserasian dengan lingkungan terlihat sangat menonjol dimanapun bertugas seperti yang diperintahkan pimpinan tidak ia permasalahkan. Bahkan cepat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Salah satu kebiasaannya apabila di tugaskan dimanapun selalu mempelajari dan memahami kebudayaan setempat, seperti bahasa dan lainnya dengan cara menyatu dengan lingkungan, baik dengan masyarakat maupun dengan lingkungan alam. Disamping itu, ia selalu mengingatkan kepada keluarga Polri manapun kepada masyarakat mengajak hemat sumber daya alam demi anak cucu kita, yang paling gencar atau yang paling sering dilakukan untuk mengajak hemat sumber alam ketika dinas di Kalimantan.
5. Kualitas Spritual
Sebagai manusia yang beragama, ia tidak membeda – bedakan manusia. Bahkan iamemperhatikan kerukunan umat beragama. Bukan berarti keluarganya bebas memilih agama, yang ditanamkan bahwa kita harus hidup rukun dan damai bersama – sama pemeluk agama yang berbeda. Ia menghormati kepada pemeluk agama yang lain. Dengan demikian, kesadaran beragama ( ia pemeluk agama Islam ) bagi dirinya maupun keluarganya selalu mengingatkan jangan meninggalkan perintah Allah. Hanya putrinya belajar mengaji dengan cara memanggil guru mengaji ke rumah sampai hafal dan menghayati ajaran agama Islam.
Ia tidak henti – hentinya membaca buku – buku agama Islam. Memang ada niat untuk melaksanakan ibadah Umroh ke Tanah Suci sekeluarga, tapi ia keburu meninggal. Hanya saya dan anak – anak bersama – sama menjalankan ibadah Haji ke Tanaj Suci. Sampai sekarang koleksi buku – buku tentang agama Islam masih tertata rapi di dalam lemari. Kini buku – buku tersebut bukan sebagai pajangan belaka, sering anak – anak membacanya.
6. Kualitas Kekaryaan
Yang masih terngiang kata – kata darinya adalah “ kerja bukan hanya semata – mata mencari materi, tetapi merupakan suatu ibadah “. Oleh karenanya, kalau kerja kadang – kadang suka menempatkan diri dalam posisi kapan waktu kerja dan kapan waktu untuk keluarga, dengan kata lain ia teguh dan efisien dalam masalah waktu. Kekaryaan ini bisa dilihat ia menciptakan kebijakannya pada saat menjabat Dantarres 102 Malang yaitu : REKONFU, kemudian dikembangkan ketika menjabat Kapolri.
Inilah yang biasa saya kenang dari seorang bapak, pemimpin dan Komandan bagi keluarga serta anggota Polri. Mudah – mudahan apa yang saya sampaikan ini dapat bermanfaat bagi generasi muda Polri.
Ambillah sikap dan sifatnya yang baik dan buanglah hal – hal yang jelek, karena tidak menutup kemungkinan beliau sebagai manusia biasa tidak terlepas dari kesalahan – kesalahan.
Jakarta, Oktober 2001
(Alm) isteri Jenderal Pol. Anton Soedjarwo