L
|
emahnya Polri selama 4 ( empat ) dekade yang lalu, lebih disebabkan oleh Polecy Politis ( causing factor ). Polecy politis selama itu bisa dilihat, banyak tugas pokok Polri diambil alih TNI dengan dalih posisi lemah. Kalau lemah mestinya dikuatkan, bukan sistem yang diubah. Akibatnya, sangat fatal. Polri hanya dilihat sebelah mata sehingga masalah Polri hanya dijadikan sub kecil dari pembangunan Hankam. Contoh anggaran, peralatan dan sarana / prasarana Polri sangat kecil bila dibanding dengan TNI. Bahkan anggaran satu Kodam bisa lebih besar dari anggaran Polri secara nasional. ( Kunarto, 1 / 7 1996 ). Karena itu era reformasi diharap lebih jernih mereposisi pembangunan Polri secara proporsional dan signifikan.
Seandainya mengacu perkembangan global, reformasi Polri seharusnya sudah dimulai sejak globalisasi bergullir di Indonesia awal 1980-an. Tapi, benar kata filosofi Shakesphere, pembangunan hukum di suatu negara sering lamban, apalagi jika didukung political will yang baik. Pernyataan Shakersphere memang sudah ribuan tahun silam, tetapi aktualisasinya relevan untuk dijadikan bahan analisis permasalahan Indonesia masa kini.
Contoh, Indonesia yagn sudah lebih setengah abad merdeka, hukum dan perangkatnya masih jalan di tempat bahkan sering berjalan mundur. Menjelang tahun 2000 ada kemajuan politik. TNI harus back to basic ( kembali ke barak ) memposisikan Polri secara proporsional didepan mengimbangi 3 tuntutan globalisasi; HAM, demokratisasi, ekologi yang erat dengan tugas polisi. Tapi, hal itu masih dalam kerangka euforia reformasi ( sekadar meredam ) tuntutan masyarakat, belum terimbangi political in action. Dapat dilihat analisa intelektual seperti Polri selalu dianggap inferior oleh kekuatan yang menganggap dirinya superior, akibatnya kemauan politik pengedepanan Polri bisa jadi hanya utopis. Lemahnya Polri bukan hanya dipengaruhi oleh minimnya perhatian pemerintah tetapi juga intervensi berbagai kepentingan baik dari penguasa ( exekutif maupun legislatif ) dan LSM – LSM yang kurang mengerti tentang kepolisian, tetapi sering bicara keras tentang kepolisian.
Ide kemandirian kepolisian sudah hampir 3 abad silam ketika Van Vollenhopen ( 1726 ) menyatakan, kepolisian dalam negara harus otonom karena tugas dan pekerjaannya yang kompleks, memerlukan otoritas luas. Van Vollenhoven meretas Teori Trias Politica, Mentesque; 3 unsur kekuasaan negara yaitu legislatif ( pembuat UU ), eksekutif ( pelaksana UU ), dan yudikatif ( menjalankan UU ). Timbul persoalan siapa yang mengawasi sekaligus memaksa dipatuhinya UU agar ketentraman rakyat terjaga ? polisilah yang berwenang mengawasi dan memaksa masyarakat agar UU dipatuhi. Otonomi kepolisian ini telah dilakukan negara – negara maju dan memiliki disiplin kuat.
Otonomi kepolisian suatu keharusan ( qonditiosinequanon ). Tak boleh ada satu badanpun mempengaruhi apalagi mengintervensi polisi karena pekerjaannya bergelut dengan masalah keadilan, HAM, dan demokrasi yang langsung berhubungan dengan nasib seseorang. Otonomi polisi harus menjamin terjaganya kesamaan hukum di masyarakat. Karena itu reformasi hukum harus pula mereformasi instrumen hukum lainnya termasuk hukum militer agar sama dengan hukum militer internasional hanya menangani pelanggaran / kejahatan militer seperti disiplin militer, melawan atasan, disersi dan mata – mata musuh. selain pelanggaran / kejahatan tersebut anggota militer, harus tunduk pada KUHP dan peradilan umum ( doktrin equality before the law ).
Jika melihat sejarah, otonomi Polri sebenarnya telah terbangun pada tahun 1946 sampai awal 1960-an ketika Polri dipimpin seorang Menteri Kepolisian bertanggung jawab langsung pada Presiden / Perdana Menteri. Sejarah mencatat, Polri ketika dibentuk PPKI tanggal 19 Agustus 1945 administratif dibawah Departemen Dalam Negeri operasional dibawah Kejaksaan. Namun, tidak efektif dan hanya bertahan selama 10 bulan.
Tanggal 1 Juli 1946 Polri otonom, bertanggung jawab pada Presiden. Pimpinan tertinggi Polri disebut Menteri Kepolisian memimpin Departemen Kepolisian perubahan dari Djawatan Kepolisian Negara ( DKN ). Efektiktifitasnya terllihat , yaitu terbentuknya Polri satu Komando sampai tingkat kecamatan se-Indonesia menganut sistem kepolisian nasional bukan kepolisian federal.
Namun, kedudukan Polri yang strategis dalam negara terus – menerus diperebutkan oleh berbagai kepentingan setelah Depdagri dan Kejaksaan Agung gagal “ menguasai “ Polri. Maka dicari alasan historis dari kelahiran Polri terlibat langsung dalam berbagai pertempuran melawan penjajah bersama dengan TNI. Karena itu, pada peringatan Hari Bhayangkara ke – 13 tanggal 1 Juli 1959 Presiden RI Soekarno memanggil Menteri Kepolisian Jenderal Polisi Soekanto, karena Bung Karno akan menjadika Polri Angkatan Bersenjata Republik Indonesia ( ABRI ) satu atap dengan angkatan lainnya ( AD, AL, AU ). Jenderal Pol. RS. Soekanto dengan tegas menolak ide tersebut dengan alasan kalau Polri disatukan denga TNI, maka profesionalisme kepolisian dan otoritas kepolisian akan hancur dan hilang. Jika Presiden tetap pada gagasannya maka Menteri Muda Kepolisian RS. Soekanto akan mengundurkan diri. Dan hal itu benar – benar terjadi, tanggal 15 Desember 1959 RS. Soekanto mengundurkan diri dari jabatan Menteri Muda Kepolisian RI. Begitulah akhir karier Jenderal Pol. Soekanto yang kita kenal sebagai “ Bapak Polri “.
Sementara alasan Bung Karno menjadikan Polri sebagai ABRI karena historis, bahkan de facto Polri yang merintis satuan – satuan bersenjata di Indonesia karena Polri memliki sistem persenjataan lengkap sejak negara diproklamirkan dan tak pernah absen ikut bertempur di medan perang. Kemudian Tap. MPRS No. II dan III tahun 1960 menetapkan ABRI terdiri dari Angkatan Perang dan AKRI ( Angkatan Kepolisian Republlik Indonesia ) dan berdasar Keppres No. 21 / 1960 sebutan Menteri Muda Kepolisian RI diubah menjadi Menteri Kepala Kepolisian Negara.
Prediksi Jenderal Pol. RS. Soekanto menjadi kenyataan, Otonomi Polri mulai terusik setelah Polri masuk ABRI. Polri bukan hanya menjadi tidak otonom tetapi rusaknya profesionalisme dan sistem organisasi yang hierarkhinya cukup jauh dari Presiden menyebabkan Polri semakin lemah. Doktrin Polri juga doktrin TNI menjadikan Polri dan TNI nyaris sama. Polri didesain menjadi TNI dan TNI didesain menjadi Polri.
Kini dalam era reformasi rakyat menuntut kembali memiliki kepolisian yang kuat dan tangguh, independen yang garis hirarkhinya langsung Presiden. Kiranya suara rakyat telah didengar. Yang terbaik menurut rakyat itulah yang terbaik untuk Polri “ Vox popouli Vox Dei “. Sura rakyat adalah suara Tuhan. Pada hari Bhayangkara ke – 54 tanggal 1 Juli 2000 Presiden RI meresmikan reorganisasi Polri keluar dari Departemen Pertahanan dan TNI, menjadi organisasi independen yang bertanggungjawab langsug kepada Presiden.